Aku tak tahu lagi bagaimana caranya untuk merubah semua ini. Tak ada lagi rasa benci yang bisa aku berikan untukmu. Tak ada lagi rasa kesal, jengkel, bahkan marah sekali pun. Semua ini terasa tulus. Entah apa yang membuatku seperti ini. Aku juga bingung. Tuhan, semua ini terasa sempurna. Akal sehatku memang tak mampu menerimanya tapi batin ini terus memaksa. Maafkan aku Tuhan. Maafkan aku jika aku memang bukan hamba terbaik untukmu. Hanya satu harapanku pada-Mu, semoga aku dan dia menjadi sempurna.
Semilir
angin datang menerpa segala apa yang ada. Sebuah buku tua nan usang
tergeletak rapi di atas sebuah batu nisan. Dengan kertas yang begitu
kusam kekuningan dan tinta tulisan yang terlihat luntur akibat
terjangan air hujan, menandakan bahwa si empunya tak lagi memperdulikan.
Angin pun membuka lembaran demi lembaran buku itu. Tampak jelas cerita
hidup si penulis yang begitu campur aduk. Segalanya terungkap satu demi
satu.
Hari
berganti dengan begitu cepatnya. Tanpa disadari tahun ajaran baru pun
kembali dimulai. Bagi Luna ini adalah tahun ajaran ketiga setelah ia
bersekolah di SMA Nusa Satu. Dan kini tiba saatnya perjalanan panjang
itu dipertaruhkan.
Luna
berjalan di trotoar pinggir jalan. Ia akan pergi munuju sekolahnya.
Tapi sebuah keanehan muncul dalam pikirannya. Jalanan yang dulunya
terasa begitu ramai oleh lalu lalang siswa siswi SMA Nusa Satu, namun
mengapa sekarang tak ada lagi seorang pun yang ia lihat.
Kembali
Luna melihat jam tangannya. “Masih jam 7 kurang kok. Apa akunya yang
kecepatan yah? Perasaan dari dulu perginya selalu jam segini deh.”
Tanpa
memperdulikan segala bentuk tanda tanya yang merasuki pikirannya, Luna
pun kembali beranjak dengan segera menuju sekolahnya. Tak disangka
gerbang yang menjulang tinggi itu kini telah tertutup rapat. Bahkan
dijaga oleh seorang satpam yang berkumis lebat dengan raut wajah
menyeramkan berdiri gagah disana. Dengan sigap, Luna bersembunyi dibalik
pohon besar untuk melindungi diri dari satpam tua itu. Takutnya satpam
itu melihat kearah Luna.
Tiba-tiba
saja Luna terkejut dan keringat dingin keluar dari pori-pori kulitnya.
“Mati aku. Jangan-jangan tangan di pundak aku ini…,” Luna mengucap
beribu kata do’a. Jika memang tangan itu milik Pak Kumis, mungkin saja
dengan ia berdo’a orang itu akan berubah. Apa pun perubahan itu akan ia
terima asalkan tidak membawanya transit ke ruang BP. Karena itu akan
sulit urusannya nanti.
Dengan
hati berdegup kencang, Luna memberanikan diri membalikkan badannya
menghadap orang itu. “Maaf Pak, bukan maksud saya untuk telat. Tapi
kayaknya ada yang ngerjain saya deh Pak! Soalnya tiba-tiba saja, jam
saya bisa telat jadi dua puluh menit. Jadi, saya kira belum masuk,” Luna
memohon dengan suara yang disetelnya memelas. Kepalanya ia tundukkan
dalam-dalam tanpa berani ia tatap sang satpam sangar itu.
Sayup-sayup
terdengar suara cekikikan yang berasal dari orang yang berada di
depannya itu. Dengan perlahan Luna menengadahkan mukanya menatap orang
tersebut. Betapa terkejutnya ia ternyata orang itu Gabriel Winata.
Sahabat kecilnya yang sekarang sedang tertawa riang.
“Sialan
kamu. Jail banget sih jadi orang,” Luna terus-terusan memukul pelan
lengan Iel dan mencerca orang di depannya itu. Tanpa rasa bersalah
Gabriel terus-terusan tertawa sampai terkekeh.
Gabriel
melihat jam tangannya. “Jam segini masih niat sekolah? Cabut yuk,
lagian udah lama aku gak jalan sama kamu. Kesempatan nih, mau gak?”
tawar Iel.
“Tapi aku…,” belum sempat Luna menyelesaikan kalimatnya Gabriel langsung memotong.
“Udah gak usah pikir dua kali,” Gabriel langsung menarik tangan Luna dan membawanya pergi.
Awalnya
aku kira kamu itu orang paling resek sedunia. Tapi kini aku baru sadar
perasaan ini jauh lebih bahagia jika kau menghargainya dengan senyuman.
Jalan-jalan tadi bukan hanya sekedar jalan biasa, tapi bagi aku itu
sangat special. Makasih yah Iel selama ini kamu udah jadi sahabat aku
yang paling baik. Aku gak pernah berharap jika hidup ku ini seperti
seorang putri yang selalu berakhir bahagia. Aku juga tidak pernah peduli
dengan apa yang tidak ada dengan ku. Tapi aku akan selalu membuat
orang-orang di sekeliling ku bahagia. Aku ingin membuat hidup mereka
bahagia. Karena kalau bukan sekarang kapan lagi? Besok atau pun nanti
tidak ada yang tahu bagaimana adanya.
Lembaran
buku itu kembali terbuka. Buku tua dengan tumpukan debu yang tebal.
Terlihat pula berbagai macam cerita penulis dengan perasaan campur aduk.
Ada yang sedih, senang, bahagia, gembira, haru, bahkan terasa sangat
kasian untuk dibaca. Berbagai macam itu kini terungkap. Nano-nano
kehidupan pun kembali di mulai.
Pagi
hari yang indah. Kicauan burung terasa begitu nikmat laksana musik
dunia yang berdendang. Hawa sejuk pagi hari pun merasuki tubuh setiap
insan. Pagi cerah dengan langit biru tanpa awan. Maha sempurna ciptaan
Sang Kuasa.
“Woii… bengong aja pagi-pagi,” teriakan Iel memecahkan lamunan Luna yang sedang duduk di pinggir lapangan basket.
Luna menoyor pelan kepala Iel. “Sialan ah! Jauh-jauh sana.”
“Yakin? Entar kangen lagi.”
Luna
hanya meresponnya dengan menjulurkan lidah. Ejekan yang biasa ia
lakukan pada Iel. Suara tawa pun memecah di antara keduanya.
“Eh Lun,” tiba-tiba saja nada suara Iel berubah. Seperti ada hal penting yang ingin ia bicarakan.
Luna
memalingkan wajahnya menatap Iel. Menunggu orang yang didepannya ini
bicara. Tapi sesuatu yang aneh langsung terbaca oleh matanya. “Yel, kamu
sakit yah?” tanya Luna sambil menaikkan alisnya sebelah. Dengan sigap,
punggung tangannya pun langsung ia tempelkan ke kening Iel.
“Enggak ah,” Iel langsung menyingkirkan tangan Luna dari keninggnya. “Aku cuma kurang tidur aja.”
“Tapi muka kamu pucat banget loh. Matanya juga sembab. Apa kamu habis nangis yah?” tanya Luna yang mulai mengkhawatirkan Iel.
“Ya
gak mungkin lah. Masak cowok sekeren ini dibilang nangis,” Iel langsung
menyangkal argument Luna yang menurutnya sangat tidak masuk akal.
“Mmm… kirain,” jawab Luna.
“Lun, ada sesuatu yang mau aku bilang.”
“Ya udah bilang aja. Aku kan sahabat kamu yang selalu siap kapan pun kamu butuhkan.”
“Ah, banyak cerita!” jawab Iel sambil mengucek ubun-ubun kepala Luna.
“Tuh kan berantakan deh rambut aku,” keluh Luna sambil merapikan rambutnya.
“Iya deh sorry. Mmm… Lun, aku… baru balikan sama Gita.”
Terkejut.
Yah, spontan saja Luna terperangah mendengar pernyataan Iel tadi. Hal
yang tidak bisa ia terima ternyata terjadi juga. Setan apa yang merasuki
tubuh Iel, bisa-bisanya ia dengan begitu gampang menerima kembali
pengkhianatan Gita.
“Kamu
serius?” nada suara Luna berubah menjadi bentakan. Dengan sigap Luna
langsung mengendalikan dirinya agar tidak dikuasai oleh emosi. “Maksud
aku, kamu yakin? Bukannya dulu kamu bilang dia itu….”
“Pengkhianat,”
sambung Iel. “Awalnya sih aku pikir begitu. Tapi setelahnya, aku baru
sadar waktu itu aku terlalu emosi. Jadi bawaanya marah melulu,” jelas
Iel.
“Tapi
Yel, kemarin aja aku liat sediri kok dia pulang sama Andi. Itu yang
kamu maksud dia sudah berubah?” protes Luna yang tidak terima atas
keputusan Iel.
“Iya
Lun aku tahu. Gita sendiri kok yang bilang sama aku kalau Andi itu
sepupunya. Jadi sah-sah aja dong! Please Lun, kamu setuju yah dengan
keputusan aku ini. Soalnya cuma sama Gita aku merasa bahagia. Tapi sama
aja kalau sahabat aku yang satu ini gak setujuinnya,” kata Iel sambil
senyum dan mengangkat alisnya sebelah. Memohon penuh harap kepada Luna.
Luna
menghela nafas pelan. Berharap keputusan Iel tak akan membuatnya
menyesal. “Kalau begitu asalkan kamu bahagia, aku juga senang.”
Pekarangan
SMA Nusa Satu begitu ramai. Tepat bel berbunyi, seluruh siswa dan siswi
berhamburan ke kelas mereka masing-masing. Begitu juga Iel dan Luna.
Dan setelahnya sekolah itu berubah menjadi sepi, sunyi dan senyap.
Mungkin hanya ada satu atau dua orang saja yang terlihat sedang
mengantarkan absen ke meja piket.
Kamu
bilang, kamu akan bahagia kalau ada Gita disampingmu. Tapi kamu juga
bilang semua itu tidak akan berarti apa-apa jika aku tidak
menyetujuinya. Aku bahagia Iel, aku bahagia tentang apa pun yang kamu
lakukan asalkan itu juga akan membuatmu bahagia. Aku tenang, aku senang,
asalkan kau pun begitu. Sekarang lihat aku, aku tidak akan pernah lagi
menangisimu. Karena, kamu akan merasakan apa yang aku rasakan bukan? Aku
akan terus bahagia agar kau bahagia.
Kini
lembaran buku itu kembali terbuka. Menyibak debu yang mengelilinginya.
Membiarkan tulisan itu terpampang begitu saja agar siapa pun bisa
membacanya. Sungguh wanita yang sangat tegar. Jiwamu bagaikan malaikat.
Namun sayang setegar apa pun itu, batu karang juga akan terkikis oleh
ombak yang menerjang.
Semua
terasa cepat berlalu. Teringat jelas awal mula Luna memasuki sekolah
ini. Saat acara MOS dimulai. Teringat juga saat ia dan Iel yang dikira
pacaran, sampai-sampai kakak kelas mereka menyuruh mereka memutuskan
hubungan itu. Tapi hubungan apa? Jelas-jelas mereka berdua hanya sekedar
sahabat. Bahkan sampai detik ini.
Luna
menghela nafasnya panjang. Sekarang saatnya ia dan teman-teman
seangkatannya meninggalkan sekolah yang mereka cintai. Meninggalkan
segala macam kejadian aneh yang pernah mereka lakukan di sekolah ini.
Meninggalkan guru-guru yang mereka sayangi, meninggalkan Pak Kumis
satpam sekolah yang tiada henti mengejar murid-murid yang bolos sekolah.
Sungguh, semua berjalan begitu cepat. Bagaikan membalik telapak tangan.
Secepat itulah waktu berjalan.
Luna
berjalan di koridor sekolah bersama teman-temnnya yang lain. Kini,
mereka semua Lulus 100%. Setelah perjuangan selama tiga tahun yang
dibayar hanya selama empat hari itu. Keriuhan dan teriakkan gembira
memecah di seantero penjuru sekolah. Aksi coret-coretan pun di mulai.
Tanda tangan sebagai kenang-kenangan. Air mata kesedihan karena harus
berpisah sampai di sini. Semuanya berakhir. Tak terkecuali mereka yang
tidak disangka akan bisa dipisah akhirnya terpisahkan juga.
“Luna…,” teriak seseorang. Luna langsung celingukan mencari asal suara yang memanggil dirinya. Ternyata dia Iel.
“Ada
apa?” tanya Luna yang langsung menghampirinya. Tanpa diduga Iel
menyeprotkan cat pilox ke baju Luna. Lengkap sudah sekarang. Warna puti
abu-abu itu kini telah berubah menjadi pelangi.
Luna
terus-terusan berteriak, meminta Iel untuk menghentikannya. Karena
kasihan melihat Luna yang sudah kecapekan seperti itu, Iel pun
menghentikannya. “Resek. Kalau tau seperti ini, aku ambil pilox juga
tadi.”
Iel
tertawa tiada henti melihat Luna yang gadel seperti itu di tambah lagi
dengan muka cemberutnya. “Sebenarnya aku gak ada niat sih buat semprot
ini ke kamu. Oiyah, kamu belum tanda tangan di baju aku. Tanda tangan
gih,” kata Iel.
“Buat
apa? Entar juga ketemu muka kamu lagi di kuliahan,” jawab Luna yang
enggan melakukannya. “Eh Yel, aku liat-liat kok muka kamu makin lama
makin pucat sih?”
“Biasa aja kok. Kamu aja yang berlebihan,” jawab Iel sambil melihat-lihat di sekitarnya.
“Ya ampun, aku serius?”
“Yaudah ah, gak usah diperdulikan,” kata Iel dengan sedikit marah.
“Iya gak usah pakek marah juga kali,” jawab Luna sambil memanyunkan bibirnya.
Iel kembali menatap wajah Luna. “Lun, entar malam kamu dikasih keluar gak?”
“Kenapa memangnya?”
“Mau gak keluar sama aku.”
“Ngapain?”
“Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”
“Tentang?” tanya Luna penasaran.
Iel
menghela nafasnya panjang. “Nanti juga kamu tahu. Jam 7 aku jemput,”
setelahnya Gabriel pun berlalu. Meninggalkan Luna dengan berbagai macam
pertanyaan yang menghantuinya.
Malam
ini begitu dingin. Tadi sore hujan turun sangat lebat. Masih terasa
sisa-sisa udara dingin setelah hujan. Awalnya Luna mengurungkan niatnya
untuk pergi namun karena terus-terusan didesak Iel jadi terpaksa ia
turuti. Memangnya hal sepenting apa coba sampai seperti ini harusnya.
Mereka
berdua sampai di taman danau yang dulu sering mereka kunjungi. Taman
itu sangat sepi. Mungkin karena selepas hujan makanya orang enggan untuk
datang ke taman itu. Hawa dingin merasuk tulang Luna. Bahkan jaket yang
menyelimutinya pun tak mampu menghangatkan tubuhnya.
Iel
dan Luna duduk di kursi panjang yang menghadap ke danau. “Ada apa sih?
Sampai kamu ngotot banget ngajak aku pergi?” tanya Luna yang tak sabar
lagi.
Iel menyunggingkan senyum. Mencoba mengatur suasana hatinya saat ini. “Sepertinya ini pertemuan kita yang terakhir,” kata Iel.
Luna membulatkan matanya. “Terakhir? Maksud kamu?” tanya Luna.
“Maaf Lun, aku harus tarik kembali perjanjian kita dulu. Aku gak bisa kuliah bareng kamu lagi.”
“Apa?” Luna terkejut. “Terus kamu kuliah dimana?”
“Aku… kuliah di Jakarta,” katanya.
“Heh Jakarta? Sejauh itu? Kamu, kamu kenapa sih? Tolong deh jangan buat aku bingung.”
“Bingung
kenapa? Intinya aku memang harus pergi,” suara Iel kian melemah. Bahkan
sangking lemahnya sangat sulit untuk di dengar oleh Luna.
“Kenapa
harus disana sih Yel? Disini kan juga banyak kuliah yang bagus. Kamu
tega tinggalin aku sendiri disini. Kita udah sama-sama dari TK, Yel.
Kamu, kamu gak peduli lagi sama aku?” ucap Luna yang amarahnya kian
membara.
“Maaf Lun, aku minta beribu-ribu maaf. Aku… aku kuliah disana karena Gita.”
“Gita?
Kenapa harus Gita sih? Oh, jadi sekarang aku gak penting lagi untuk
kamu. Hmm, ternyata cuma ini yah arti sahabat menurut seorang Gabriel
Winata. Tega yah kamu!” Luna berlari meninggalkan Iel sendiri.
Butiran
air hangat keluar dari kelopak matanya dan kemudian terjun bebas ke
pipinya tanpa henti. Seakan nyawa telah lepas diterpa angin sangking
kencangnya ia berlari. Kini harapan pun pupus baginya. Sebuah kenyataan
yang susah untuk ia terima. Harapan itu tak akan pernah bisa menjadi
sempurna. Karena Tuhan tak akan menghendakinya.
Aku
gak mau dengar itu lagi. Aku gak mau kejadian itu terjadi. Tega kamu
Yel, tega. Demi dia, hanya dia. Terus aku? Gak ada arti untukmu. Tuhan,
inikah jawaban darimu. Jika ia, aku tak akan pernah mengeluh tapi satu
yang ku pinta tolong jaga dia, buatlah ia bahagia walaupun aku tak
sanggup untuk bahagia. Makasih yah untuk semuanya. Awal yang indah dan
akhir yang menyakitkan. Kini semua terjadi padaku. Terima kasih.
Sebuah
kejayaan telah dirangkulnya. Kini jas putih pun telah disandangnya. Hal
yang tak pernah diduga Luna, kini terjadi. Predikat dokter telah ia
dapatkan. Andai saja dulu Iel mengikuti jejaknya, pasti sekarang ada
dirinya di sebelah Luna. Yasudahlah yang lalu biarkanlah berlalu,
mungkin saja Gabriel lebih bahagia dengan apa yang dimilikinya sekarang.
“Dokter
Luna selamat, sekarang Anda telah resmi menjadi dokter spesialis!”
seorang dosen yang selalu setia membimbingnya dan begitu berbaik hati.
“Kamu akan di rekrut rumah sakit di Jakarta. Tadi saya baru di telepone
dengan kepala rumah sakitnya untuk segera menyuruh kamu datang ke sana.”
“Rumah sakit Jakarta prof?” tanya Luna.
“Iya, Anda keberatan? Jangan buang kesempatan emas ini Luna,” pesan dosennya itu dan kemudian berlalu meninggalkannya.
Bukan itu, hanya saja kota itu. Tempat dimana ia berada sekarang, batin Luna.
Dengan
berat hati, mau tidak mau semua ini harus terjadi. Karena itulah
impiannya selama ini. Menjadi dokter dan bekerja di rumah sakit ternama.
Akhirnya
kejadian itu terjadi juga. Sekarang ia telah bekerja di sebuah rumah
sakit di Jakarta. Mimpi itu menjadi nyata. Sudah hampir dua bulan ia
berada disini. Banyak para pasien yang mendatanginya. Dan sekarang ia
juga mempunyai seorang asisten. Namanya, Larissa.
Menurut
Luna ia seseorang yang sangat baik hati. Luna banyak tahu informasi
dari Larissa. Sekarang Luna dan Larissa sedang berbicang-bincang di
kantin rumah sakit.
“Iya
dok, kadang saya juga sampai sedih melihatnya. Kata dokter Budiman
atasan saya dulu, dia itu sudah terkena kanker stadium empat loh dok.
Kasihan padahal dia itu ganteng banget,” kata Larissa. Perawatnya satu
ini memang cukup sensitive jika yang namanya cowok ganteng.
“Kamu
ini, liat orang itu bukan karena cuma ganteng. Tapi hatinya juga.”
Larissa tersenyum malu mendengarnya. “Oiyah, kamu bilang kamu mau
mempertemukan saya dengan dia. Kapan? Dari kemarin kamu bilangnya nanti
nanti melulu.”
Larissa menarik alisnya sebelah keatas. “Hayoo… dokter penasaran yah karena saya bilang ganteng?”
“Sembarangan kamu. Memangnya saya kurang cantik apa? Banyak lagi cowok-cowok ganteng yang pada ngantri!”
Larissa
tertawa begitu lepas. Tak pernah didengarnya dokter yang satu ini bisa
senarsis ini. “Hmmm… dokter mau ketemu sekarang?” tanya Larissa.
“Bisa asalkan kita tidak mengganggu.”
“Baiklah.”
Luna
dan Larissa beranjak dari tempat duduknya. Mereka akan menjenguk pasien
yang sudah hampir tiga tahun lebih menghuni rumah sakit ini. Sudah
sekian lama ia diderita penyakit kanker ganas. Kanker otak stadium 4.
Menurut informasi yang didapat oleh Luna, kanker itu dia alami sudah
lama sekali, kira-kira semenjak SMA. Katanya ia orang yang sangat kuat
untuk bertahan terhadap kanker dengan rentang waktu selama ini.
Pintu
kamar terbuka begitu saja. Larissa masuk ke kamar pasien tersebut
diikuti oleh Luna dibelakangnya. Kamar itu terlihat begitu lengang.
Seorang lelaki kurus terduduk lemas di atas kursi roda yang selalu
mengiringinya kemanapun ia pergi. Lelaki tersebut menatap kosong kearah
luar jendela. Bahkan bunyi gencitan pintu terbuka pun tak
mempengaruhinya.
“Selamat sore, maaf saya mengganggu!”
Kelihatannya
lelaki itu terkejut atas kedatangan mereka berdua. Spontan ia
memalingkan wajahnya menatap orang yang mengganggu kesendiriannya.
“Astaghfirullah…,”
Luna menutup mulutnya. Terkejut atas apa yang ia lihat sekarang ini.
Butiran air keluar dari kelopak matanya. Tangisan itu pecah. Didekatinya
lelaki yang tersenyum lemah menatapnya.
“I..I…Iel?
Inikah kamu?” Luna mentap Iel lekat-lekat sambil memegang kedua
pipinya. Yah dialah orang yang selama ini dinanti-nanti kehadirannya
oleh Luna. Gabriel Winata.
Iel
mengangguk lemah. Membendung air matanya agar tidak keluar. Luna
langsung berhambur memeluk sahabatnya itu. Seketika tangisannya pecah.
Iel mengelus rambut Luna.
“Udahlah Lun, jangan nangis lagi. Aku gak apa kok!” ucap Iel sangat lemah.
Luna melepaskan pelukannya. “Apa yang terjadi selama ini Yel? Kenapa bisa?”
Iel menyunggingkan senyumnya. “Ceritanya panjang,” Iel menatap asisten Luna yang berdiri terbengong disana.
“Maaf
Larissa, bisakah kamu meninggalkan saya sebentar disini?” tanya Luna
kepada Larissa. Dengan cepat Larissa pun meninggalkan Luna. “Sekarang?”
Luna meminta penjelasan terhadap Gabriel.
Gabriel
mengangguk. “Maaf kan aku. Sebenarnya aku sama sekali tak pernah
sedikitpun balikan sama Gita. Itu semua hanya rekayasaku saja. Dan Andi
itu memang pacarnya bukan sepupunya,” Luna tercengang. Air matanya terus
menetes. Tak tega atas apa yang dulu ia lakukan terhadap Iel. Bahkan
itu semua hanya fiktif belaka. “Aku pindah ke Jakarta hanya untuk
berobat. Mungkin kamu tahu kalau sekarang aku terkena penyakit kanker
otak stadium akhir. Penyakit yang tidak ada obatnya. Maafkan aku karena
tidak pernah cerita denganmu. Aku hanya tak ingin keadaan aku ini malah
jadi pikiran buat kamu. Karena aku ingin melihat kamu berhasil.
Menggapai cita-cita kita dulu. Menjadi seorang dokter. Dan kelihatannya
impian itu terwujud sekarang,” Gabriel tersenyum kearah Luna.
“Kenapa
kamu gak mau cerita sama aku? Setidaknya sakit yang kamu derita bisa
kamu bagikan ke aku Iel. Kamu itu sahabat aku sampai mati. Kamu sakit
aku juga sakit. Ckck, Tuhannn…,” Luna histeris. Ia gak akan rela semua
ini terjadi. Hal ini sangat susah untuk diterima.
“Jangan
salahkan Tuhan Luna. Aku gak pernah keberatan kok jika Tuhan anugrahkan
semua ini. Yang jelas seumur hidupku selalu disertai dengan sahabat
yang menyayangiku dan kusayangi,” jelas Iel yang membuat Luna terharu.
Senja
sore begitu indah. Pancaran cahayanya menembus kaca ruangan Gabriel.
Sore itu begitu menyedihkan dan begitu membahagiakan. Dua insan yang
telah terpisah lama, kini bersatu kembali. Jika siang bisa berganti
malam, terang berubah menjadi gelap. Bahkan hidup pun berakhir kematian.
Hal itu tak akan pernah bisa berubah. Kecuali kekuatan dari Sang
Pencipta yang telah melukis segalanya.
Tuhan,
dosa apa yang ku perbuat sehingga Kau menganugerahi semua ini
kepadanya. Tuhan, jujur aku tak sanggup melihat dirinya seperti ini. Aku
tak mau kehilangannya Tuhan. Aku tak rela. Berikan dia mukjizat
terbaik-Mu Tuhan. Tolong sembuhkan dia. Tolong bawalah ia dalam
kehidupan ini. Tolong Tuhan, aku mohon kepadamu. Segalanya akan ku
lakukan demi kesembuhannya. Kumohon.
Tak
dapat di elakkan lagi. Hari demi hari penyakit itu kian menyiksa.
Sepertinya Iel bertahan hanya untuk bisa bertemu dengan Luna untuk
terakhir kalinya. Virus itu kian menyiksa. Menggerogoti segala daya imun
tubuhnya. Sekarang tiada yang tersisa. Hanya tubuh lemah yang tak
berdaya. Tinggal menghitung hari untuk mengakhiri segala penderitaan
ini.
“Lun, mau bawa aku ke taman rumah sakit ini gak?” tanya Iel.
Luna
tersenyum. Apa pun itu Yel, akan ku lakukan selagi kau ada disni,
batinnya. “Memangnya kamu mau ngapain?” tanya Luna dengan lembut.
Iel
menyunggingkan senyum termanisnya. Senyum yang selalu dapat meluluhkan
hati Luna. Bahkan dengan keadaan seperti ini. “Hmm… iya deh,” ucapnya.
Langit
biru dan matahari bersinar cerah mewarnai pagi ini. Aroma segar
mengiringi setiap udara yang terhirup oleh paru-paru manusia. Tak ada
yang indah selain ciptaan Sang Kuasa. Luna menggiring kursi roda Gabriel
menuju taman.
“Sampai,” ucap Luna. Gabriel memejamkan matanya. Mengirup udara segar di pagi hari. “Iel memangnya kamu mau ngapain sih disini?”
Gabriel
membuka matanya menatap Luna yang sedang duduk di kursi panjang. “Kalau
aku udah gak di dunia ini lagi, apakah aku bisa merasakan hawa sejuk
ini lagi? Mendengar kicauan burung dan melihat matahari terbit dan
tenggelam?”
“Iel…, ini semua sakit banget yah?” tanya Luna.
Iel
mengangguk. “Iya, sakit banget Lun. Aku udah gak sanggup lagi,” keluh
Iel. Ternyata lelaki yang selalu bersikap tegar ini, bisa mengeluh juga
dengan sakit yang dideritanya.
“Kalau
kamu gak tahan lagi kamu bisa buang semuanya. Jangan bertahan lagi Yel.
Semua ini yang ada buat kamu menderita. Percaya sama aku, setelahnya
kamu akan lebih tenang. Bukankah hidup dan mati itu satu paket? Lalu apa
yang kamu takuti sekarang?”
“Aku
gak bisa tinggalin kamu sendiri. Aku udah janji sama diri aku untuk
selalu jagain kamu. Aku gak akan mengulangi kejadian dulu lagi Lun.
Tinggalkan kamu sendiri.”
Deg.
Kata-kata itu membuat hati Luna luluh. Jadi selama ini Gabriel bertahan
hanya untuk Luna. Menebus kesalahan yang pernah dilakukannya dulu.
Berharap bahwa ia tidak seperti yang Luna pikirkan. Bahwa ia
menginginkan Luna tahu dialah sahabat terbaiknya.
“Jangan
pikirkan aku Iel. Jika kamu pergi, aku tak akan marah-marah lagi
seperti dulu. Kan aku pernah bilang, asalkan kamu bahagia aku juga akan
bahagia. Kalau kamu sudah tidak tahan lagi untuk apa dipertahankan?
Sekarang lepaskan saja,” dengan berat hati Luna katakan semua itu. Harus
apa lagi yang ia lakukan kalau bukan membiarkan sahabatnya ini melepas
semua derita sakit yang ia rasakan. Biarkanlah semua ini berakhir sampai
disini. Asalkan Gabriel tak akan menderita lagi.
Darah segar keluar dari hidung Gabriel. “Iel, kamu mimisan!” teriak Luna.
Sekarang
lelaki itu tak sadarkan diri. Dokter dan perawat lainnya pun segera
menangani Iel. Sepertinya Gabriel menuruti perkataan Luna. Seakan ia
meminta izin kepada Luna untuk pergi. Dokter pun tak bisa berbuat apa
pun. Kini semua berakhir. Perjalanan menyakitkan itu berhenti. Gabriel
tak akan pernah menderita sakit itu lagi. Ia tak perlu kemoterapi lagi
yang akan membuat rambutnya semakin rontok. Tak perlu lagi kursi roda
yang akan menuntunnya kemana-mana. Tak akan ada tetesan air mata lagi
untuknya setiap kali ia di kemo. Berhenti disni.
Dalam
semalam izinkan ku kenang dirimu kembali. Dalam semalam izinkan aku
meneteskan air mata ini. Hanya sekali izinkan aku melampiaskan semua
ini. Karena aku ingin meyakinkan hati dan menguatkan diri untuk melewati
hari-hariku tanpa kamu lagi.
Iel,
sekarang kamu bisa bebas. Kamu gak perlu lagi menahan sakit itu. Dan
aku tak perlu lagi menguatkan diri kamu. Benar bukan apa yang aku
katakan? Setelahnya kamu akan lebih tenang. Bahkan kamu akan mendapatkan
hawa yang lebih sejuk dari pada ini. Sekarang kamu akan kuiringi di
tempat dimana kamu akan merasakan kenikmatan. Kenikmatan abadi yang kamu
nanti-natikan. Tempat terakhir melabuhkan hidup di keabadian menuju singga sana surga.
Selamat
jalan Gabriel Winata. Semoga kau tenang. Semua canda tawa bayangmu
takkan pernah hilang. Dalam setiap langkahku, kau selalu ada. Kamu
adalah milik-Nya dan kepada-Nya lah kamu kembali. Kini ku titipkan buku
ini diatas pusarannmu. Buku tentang kita, hanya ada aku dan kamu. Segala
hal yang ku alami ketika kita bersama. Tak peduli apa pun yang terjadi
dan yang akan terjadi kaulah satu-satunya sahabat terbaikku. Gabriel
Winata, do’a ku selalu menyertaimu.
Angin
berhembus sangat kencang. Hujan deras mengiringi kepergiannya hingga ke
akhir jalan. Suara tangisan memecah. Sekian lama penyakit itu bertahan
dan akhirnya ia pun terkalahkan. Sekarang terbukti tidak setiap
kekalahan menyakitkan. Justru kekalahanlah yang membuat ketenangan dan
akhirnya menuju kemenangan yang abadi.
Selembaran
kertas yang penuh tetesan air. Seakan tak ada debu yang menyelimutinya.
Kertas kuning itu kini telah sampai pada halaman yang terakhir. Dengan
ending yang begitu sempurna. Sejarah pun kini mencatatnya. Jika kau tak
sanggup buat apa dilanjutkan. Jika kau ingin berhenti, apa lagi yang kau
takutkan. Jika kau ingin bahagia, tujuan hidupmu kau arahkan. Semua itu
ada ditanganmu. Bukan orang lain. Karena hidupmu kau sendiri yang
pertaruhkan dan kau sendiri yang pertanggung jawabkan. Dan setelahnya
buku tua nan usang itu pun tertutup. Mengakhiri kisah pedih dengan hidup
keabadian.