ABSTRAK
Kata Kunci :
Karya tulis ilmiah ini berjudul “Sedikit
Ulasan Tentang Ratu Nahrisyah”. Metode
pengolahan data yang digunakan penulis adalah dengan pendekatan Kualitatif,
yaitu penulis membaca buku-buku yang relefan kemudian dibahas secara mendalam.
Disamping itu juga penulis memperoleh infomasi dari internet dan wawancara
langsung dengan orang sekitar. Sesuai dengan judulnya Ratu Nahrisyah adalah ratu arif dan bijaksana
serta sangat dikenal pada masa jabatannya. Namun tidak banyak orang yang tahu
tentang keberadaan ratu ini. Hanya makamnya yang menjadikan bukti sejarah.
KATA PENGANTAR
Syukur
Alhamdulillah, segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya penulis telah dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah
yang berjudul “Massa Kepemimpinan Ratu
Nahrisyah”. Shalawat dan salam penulis sanjungkan ke pangkuan Nabi Besar
Muhammad yang telah membawa manusia dari alam kebodohan ke alam yang penuh
dengan ilmu pengetahuan.
Karya
tulis ini diajukan dalam rangka memenuhi tugas pada mata pelajaran Sejarah.
Karya ini disusun berdasarkan buku-buku dan literatur lain yang relevan. Dalam
menyusun karya tulis ini, peneliti banyak menghadapi tantangan dan rintangan,
namun karena adanya bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, akhirnya karya
tulis ini dapat diselesaikan.
Untuk itu
peneliti mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada yang terhormat :
1.
Kedua orang tua, yang selalu mendukung
penulis dalam melakukan segala hal yang bermanfaat bagi peneliti.
2.
Bapak (Guru Sejarah) selaku pembimbing
yang telah memberikan bimbingan kepada penulis. Dan beliau pula yang selalu
memberikan dorongan dan motivasi kepada penulis untuk selalu melakukan
kegiatan-kegiatan penelitian yang bermanfaat.
3.
Kepada Bapak Kepala Komplek Makam Ratu
Nahrisyah yang telah memberikan waktu dan kesempatan kepada penulis untuk
mendapatkan bahan-bahan dan informasi yang diperlukan.
Semoga
kebaikan yang telah diberikan kepada peneliti menjadi amal ibadah yang akan
mendapat imbalannya dari Allah SWT. Karya tulis ini memiliki banyak kekurangan,
baik disebabkan karena keterbatasan informasi maupun dari faktor penulis
sendiri, oleh karena itu untuk kesempurnaannya peneliti mengharapkan kritikan
dan saran dari berbagai pihak.
Aceh Timur, 02 November 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Latar Belakang
Masalah
Aceh adalah salah satu provinsi yang
terletak di ujung paling barat wilayah Indonesia yang berbatasan dengan Selat
Malaka di bagian utara dan Samudera Indonesia di sebelah barat, yang merupakan
posisi strategis jalur transportasi laut di dunia. Tidak heran jika banyak
pedagang dari seluruh penjuru dunia pernah singgah di daerah Aceh. Seperti
halnya bangsa Arab, Persia, Gujarat, Eropa dan lainnya. Melalui perdagangan ini
pula banyak timbul berbagai macam akulturasi ataupun adat istiadat yang bangsa
asing bawa ke Aceh. Sehingga bangsa Indonesia memiliki banyak pemeluk agama
diantaranya Hindu, Budha, Kristiani dan Islam. Begitu pula dengan peninggalan
sejarahnya yang menjadi saksi bisu bagi kehidupan yang akan datang.
Dalam sejarah perdagangan dunia,
Provinsi Aceh pernah terkenal sebagai daerah penghasil rempah-rempah, sehingga
mengundang para pedagang Eropa untuk berkunjung ke Aceh. Namun, akibat pertolongan
dari negara-negara sahabat yang pernah berkunjung ke Aceh, bangsa Eropa
meninggalkan Aceh satu per satu. Selain itu, Provinsi Aceh juga mewarisi
berbagai macam situs sejarah dan seni-budaya yang masih dapat dikunjungi sampai
sekarang serta kaya akan keunikan dan keanekaragaman objek wisata alam. Salah
satu situs sejarah Aceh adalah Kerajaan Samudera Pasai yang berpusat di Aceh
Utara yang berbatasan dengan Selat Malaka. Sehingga banyak pedagang Arab yang
menyiarkan agama Islam di daerah tersebut dan menjadikan Kerajaan Samudera
Pasai sebagai Kerajaan Islam. Pendiri dari Kerajaan Samudra Pasai adalah Marah
Silu atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sultan Malik Al-Saleh. Banyak
sejarawan yang meneliti tentang massa kepemipinannya. Sehingga tidak asing lagi
dengannya. Ratu kedua yang memimpin kerajaan Samudra Pasai yaitu Putroe
Nahrisya. Namun tidak banyak yang tahu tentang keberadaan ratu tersebut. Bukti
sejarah yang ada hanyalah makamnya yang terletak disebelah makam ayahnya.
Bedasarkan latar belakang itulah penulis akan mengangkat judul “Sedikit Ulasan
Tentang Ratu Nahrisyah”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka rumusan masalah sebagai berikut.
a.
Bagaimanakan
sejarah berdirinya
Kerajaan Samudra Pasai?
b.
Mengapa Putroe Nahrisyah bisa menjadi
seorang Ratu?
c.
Bagaimana Kerajaan Samudra Pasai dibawah
kepemimpinan Ratu Nahrisyah?
1.3
Tujuan
Penulisan
Sesuai
dengan permasalahan diatas, tujuan yang dicapai dalam penulisan ini adalah :
a.
Menambah pengetahuan tentang sejarah
berdirinya Kerajaan Samudra Pasai bagi pembaca.
b.
Menambah pengetahuan tentang seorang
ratu yang pernah memimpin Kerajaan Samudra Pasai.
1.4
Manfaat
Penulisan
Manfaat yang
dapat diambil dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut:
a.
Menambah ilmu pegetahuan kepada pembaca
tentang salah satu kerajaan Aceh.
b.
Bagi penulis menambah pengetahuan dalam
hal penulisan karya tulis ilmiah.
c.
Bagi sekolah, dapat meningkatkan mutu
pendidikan. Khususnya dalam bidang studi Sejarah.
1.5
Sistematika Penulisan
Karya tulis ilmiah ini terdiri atas
empat bab :
Bab
I terdiri atas Latar
belakang, Rumusan masalah, Tujuan penulisan, Manfaat penulisan, dan Sistematika
penulisan.
Bab
II terdiri atas Sejarah Lhokseumawe, Awal Berdirinya Kerajaan Samudra Pasai,
Kepemimpinan Ratu Nahrisyah, Dicatat Dalam Ying-yai Sheng-lan, dan Nisan
dengan Surat Yasin.
Bab III
terdiri atas Observasi dan Wawancara.
Bab IV
terdiri atas Hasil Observasi dan Hasil Wawancara.
Bab
V terdiri atas Kesimpulan dan
Saran.
BAB II
LANDASAN TEORITIS
2.1 Sejarah
Lhokseumawe
Secara etimologi Lhokseumawe
berasal dari kata Lhok dan Seumawe. Dalam Bahasa Aceh, Lhok dapat berarti dalam, teluk,
palung laut, dan Seumawe bermaksud air yang berputar-putar atau pusat mata air
pada laut sepanjang lepas pantai Banda Sakti dan sekitarnya. Keberadaan kawasan
ini tidak lepas dari kemunculan Kerajaan Samudera Pasai sekitar abad ke-13, kemudian kawasan
ini menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh sejak tahun 1524.
Sebelum abad ke-20, negeri ini telah
diperintah oleh Uleebalang Kutablang. Tahun 1903 setelah perlawanan pejuang
Aceh terhadap penjajah Belanda melemah, Aceh mulai dikuasai. Lhokseumawe
menjadi daerah taklukan dan mulai saat itu status Lhokseumawe menjadi Bestuur
Van Lhokseumawe dengan Zelf Bestuurder adalah Teuku Abdul Lhokseumawe tunduk
dibawah Aspiran Controeleur dan di Lhokseumawe berkedudukan juga Wedana serta
Asisten Residen atau Bupati.
Pada dasawarsa kedua abad ke-20 itu, di
antara seluruh daratan Aceh, salah satu pulau kecil luas sekitar 11 km² yang
dipisahkan Sungai Krueng Cunda diisi bangunan-bangunan Pemerintah
Umum, Militer, dan Perhubungan Kereta Api oleh Pemerintah Belanda. Pulau kecil
dengan desa-desa Kampung Keude Aceh, Kampung Jawa, Kampung Kutablang, Kampung
Mon Geudong, Kampung Teumpok Teungoh, Kampung Hagu, Kampung Uteuen Bayi, dan
Kampung Ujong Blang yang keseluruhannya baru berpenduduk 5.500 jiwa secara
jamak di sebut Lhokseumawe. Bangunan demi bangunan mengisi daratan ini sampai
terwujud embrio kota yang memiliki pelabuhan, pasar, stasiun kereta api dan
kantor-kantor lembaga pemerintahan.
Sejak Proklamasi Kemerdekaan,
Pemerintahan Negara Republik Indonesia belum terbentuk sistemik sampai
kecamatan ini. Pada mulanya Lhokseumawe digabung dengan Bestuurder Van Cunda.
Penduduk didaratan ini makin ramai berdatangan dari daerah sekitarnya seperti Buloh
Blang Ara, Matangkuli, Blang Jruen, Lhoksukon, Nisam, Cunda serta Pidie.
Pada tahun 1956 dengan Undang-Undang
Darurat Nomor 7 Tahun 1956, terbentuk daerah-daerah otonom kabupaten-kabupaten
dalam lingkup daerah Provinsi Sumatera Utara, di mana salah satu kabupaten
diantaranya adalah Aceh Utara dengan ibukotanya Lhokseumawe.
Kemudian Pada Tahun 1964 dengan
Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Aceh Nomor 34/G.A/1964 tanggal 30 November
1964, ditetapkan bahwa kemukiman Banda Sakti dalam Kecamatan Muara Dua,
dijadikan Kecamatan tersendiri dengan nama Kecamatan Banda Sakti.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, berpeluang meningkatkan status
Lhokseumawe menjadi Kota Administratif, pada tanggal 14 Agustus 1986 dengan
Peraturan Daerah Nomor 32 Tahun 1986 Pembentukan Kota Administratif Lhokseumawe
ditandatangani oleh Presiden Soeharto, yang diresmikan oleh Menteri Dalam
Negeri Soeparjo Roestam pada tanggal 31 Agustus 1987. Dengan adanya hal
tersebut maka secara de jure dan de facto Lhokseumawe telah
menjadi Kota Administratif dengan luas wilayah 253,87 km² yang meliputi 101
desa dan 6 kelurahan yang tersebar di lima kecamatan yaitu: Kecamatan Banda
Sakti, Kecamatan Muara Dua, Kecamatan Dewantara, Kecamatan Muara Batu, dan
Kecamatan Blang Mangat.
Sejak Tahun 1988 gagasan peningkatan
status Kotif Lhokseumawe menjadi Kotamadya mulai diupayakan sehingga kemudian
lahir UU Nomor 2 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Lhokseumawe tanggal 21
Juni 2001 yang ditandatangani Presiden RI Abdurrahman Wahid, yang wilayahnya
mencakup tiga kecamatan, yaitu: Kecamatan Banda Sakti, Kecamatan Muara Dua, dan
Kecamatan Blang Mangat.
2.2 Asal Mula Nama Samudra Pasai
Kerajaan ini didirikan oleh Sultan
Malik Al-saleh dan sekaligus sebagai raja pertama pada abad ke-13. Kerajaan
Samudera Pasai terletak di sebelah utara Perlak di daerah Lhoksemawe sekarang
(pantai timur Aceh). Sebagai sebuah kerajaan, raja silih berganti memerintah di
Samudra Pasai. Menurut berita-berita luar yang juga diceritakan dalam Hikayat
Raja-raja Pasai kerajaan ini letaknya di kawasan Selat Melaka pada jalur
hubungan laut yang ramai antara dunia Arab, India dan Cina. Disebutkan pula
bahwa kerajaan ini pada abad ke XIII sudah terkenal sebagai pusat perdagangan
di kawasan itu.
Nama Samudera dan Pasai sudah populer
disebut-sebut baik oleh sumber-sumber Cina, Arab dan Barat maupun oleh
sumber-sumber dalam negeri seperti Negara Kertagama (karya Mpu Prapanca, 1365)
pada abad ke XIII dan ke XIV M. Dan tentang asal usul nama kerajaan ini ada
berbagai pendapat. Menurut J.L. Moens, kata Pasai berasal dari istilah Parsi
yang diucapkan menurut logat setempat sebagai Pa’Se. Dengan catatan bahwa sudah
semenjak abad ke VII M, saudagar-saudagar bangsa Arab dan Parsi sudah datang
berdagang dan berkediaman di daerah yang kemudian terkenal sebagai Kerajaan
Islam Samudera Pasai. Pendapat ini adalah sesuai dengan apa yang telah
dikemukakan oleh Prof. Gabriel Ferrand dalam karyanya (L’Empire, 1922,
hal.52-162), dan pendapat Prof. Paul Wheatley dalam (The Golden Khersonese,
1961, hal.216), yang didasarkan pada keterangan para musafir Arab tentang Asia
Tenggara. Kedua sarjana ini menyebutkan bahwa sudah sejak abad ke VII M, pelabuhan-pelabuhan
yang terkenal di Asia Tenggara pada masa itu, telah ramai dikunjungi oleh para
pedagang dan musafir-musafir Arab.
Bahkan pada setiap kota-kota dagang itu
telah terdapat fondasi-fondasi atau permukiman-permukiman dari
pedagang-pedagang yang beragama Islam. Mohammad Said, salah seorang wartawan
dan cendikiawan Indonesia yang berkecimpung dengan penelitiannya tentang
kerajaan ini dan kerajaan Aceh, dalam prasarannya yang berjudul “Mentjari
Kepastian Tentang Daerah Mula dan Cara Masuknya Agama Islam ke Indonesia,
berkesimpulan bahwa istilah PO SE yang populer digunakan pada pertengahan abad
ke VIII M seperti terdapat dalam laporan-laporan Cina, adalah identik atau
mirip sekali dengan Pase atau Pasai.
2.2 Awal Berdirinya Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu,
yang bergelar Sultan Malik Al-Saleh, sekitar tahun 1267. Keberadaan kerajaan ini juga tercantum dalam kitab Rihlah ilal-Masyriq
(Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah ke negeri ini pada tahun 1345.
Berdasarkan Hikayat Raja-raja
Pasai, menceritakan tentang pendirian Pasai oleh Marah Silu, setelah sebelumnya
ia menggantikan seorang raja yang bernama Sultan Malik al-Nasser. Marah Silu
ini sebelumnya berada pada satu kawasan yang disebut dengan Semerlanga
kemudian setelah naik tahta bergelar Sultan Malik as-Saleh, ia wafat pada tahun
696 H atau 1297 M. Dalam Hikayat Raja-raja
Pasai maupun Sulalatus Salatin nama Pasai dan Samudera
telah dipisahkan merujuk pada dua kawasan yang berbeda, namun dalam catatan Tiongkok nama-nama tersebut tidak dibedakan
sama sekali. Sementara Marco Polo dalam lawatannya
mencatat beberapa daftar kerajaan yang ada di pantai timur Pulau Sumatera waktu itu, dari selatan ke utara
terdapat nama Ferlec (Perlak), Basma dan Samara
(Samudera).
Pemerintahan Sultan Malik Al-Saleh
kemudian dilanjutkan oleh putranya Sultan Muhammad Malik az-Zahir dari perkawinannya
dengan putri Raja Perlak. Pada masa pemerintahan
Sultan Muhammad Malik az-Zahir, koin emas sebagai mata uang telah diperkenalkan
di Pasai, seiring dengan berkembangnya Pasai menjadi salah satu kawasan
perdagangan sekaligus tempat pengembangan dakwah agama Islam. Kemudian sekitar tahun 1326 ia meninggal dunia dan
digantikan oleh anaknya Sultan Mahmud Malik az-Zahir dan memerintah sampai tahun 1345. Pada
masa pemerintahannya, ia dikunjungi oleh Ibn Batuthah, kemudian menceritakan
bahwa sultan di negeri Samatrah (Samudera) menyambutnya dengan
penuh keramahan, dan penduduknya menganut Mazhab Syafi'i.
Selanjutnya pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Malik az-Zahir putra Sultan Mahmud Malik az-Zahir,
datang serangan dari Majapahit antara tahun 1345 dan
1350, dan menyebabkan Sultan Pasai terpaksa melarikan diri dari ibukota
kerajaan.
Kesultanan Pasai kembali bangkit
dibawah pimpinan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir tahun 1383, dan
memerintah sampai tahun 1405. Dalam kronik Cina ia juga dikenal dengan nama Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki,
dan disebutkan ia tewas oleh Raja Nakur. Selanjutnya pemerintahan
Kesultanan Pasai dilanjutkan oleh anaknya Sultanah Nahrisyah.
Armada Cheng Ho yang memimpin sekitar
208 kapal mengunjungi Pasai berturut turut dalam tahun 1405, 1408 dan 1412.
Berdasarkan laporan perjalanan Cheng Ho yang dicatat oleh para pembantunya seperti
Ma Huan dan Fei Xin. Secara geografis Kesultanan Pasai dideskripsikan memiliki
batas wilayah dengan pegunungan tinggi disebelah selatan dan timur, serta jika
terus ke arah timur berbatasan dengan Kerajaan Aru, sebelah utara dengan laut, sebelah barat berbatasan dengan dua kerajaan, Nakur dan Lide.
Sedangkan jika terus ke arah barat berjumpa dengan kerajaan Lambri (Lamuri) yang disebutkan waktu itu berjarak 3 hari 3 malam dari
Pasai. Dalam kunjungan tersebut Cheng Ho juga menyampaikan hadiah dari Kaisar
Cina, Lonceng Cakra Donya.
Sekitar tahun 1434 Sultan Pasai mengirim
saudaranya yang dikenal dengan Ha-li-zhi-han namun wafat di Beijing. Kaisar Xuande dari Dinasti Ming mengutus Wang Jinhong ke Pasai
untuk menyampaikan berita tersebut.
Pusat pemerintahan Kesultanan Pasai
terletaknya antara Krueng Jambo Aye (Sungai Jambu Air) dengan Krueng
Pase (Sungai Pasai), Aceh Utara. Menurut ibn Batuthah yang
menghabiskan waktunya sekitar dua minggu di Pasai, menyebutkan bahwa kerajaan
ini tidak memiliki benteng pertahanan dari batu, namun telah memagari kotanya dengan kayu, yang berjarak beberapa kilometer dari pelabuhannya. Pada kawasan inti
kerajaan ini terdapat masjid, dan pasar serta dilalui oleh sungai tawar yang bermuara ke laut. Ma
Huan menambahkan, walau muaranya besar namun ombaknya menggelora dan mudah
mengakibatkan kapal terbalik. Sehingga penamaan Lhokseumawe yang dapat bermaksud teluk yang
airnya berputar-putar kemungkinan berkaitan dengan ini.
Dalam struktur pemerintahan terdapat
istilah menteri, syahbandar dan kadi. Sementara anak-anak sultan baik
lelaki maupun perempuan digelari dengan Tun, begitu juga beberapa petinggi kerajaan. Kesultanan Pasai
memiliki beberapa kerajaan bawahan, dan penguasanya juga bergelar sultan.
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, Kerajaan Perlak telah menjadi bagian dari kedaulatan
Pasai, kemudian ia juga menempatkan salah seorang anaknya yaitu Sultan Mansur
di Samudera. Namun pada masa Sultan Ahmad Malik az-Zahir, kawasan Samudera
sudah menjadi satu kesatuan dengan nama Samudera Pasai yang tetap berpusat di
Pasai. Pada masa pemerintahan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir, Lide
(Kerajaan Pedir) disebutkan menjadi kerajaan bawahan dari Pasai. Sementara
itu Pasai juga disebutkan memiliki hubungan yang buruk dengan Nakur,
puncaknya kerajaan ini menyerang Pasai dan mengakibatkan Sultan Pasai terbunuh.
Pasai merupakan kota dagang, mengandalkan lada sebagai komoditi andalannya, dalam catatan Ma Huan
disebutkan 100 kati lada dijual dengan harga perak 1 tahil. Dalam
perdagangan Kesultanan Pasai mengeluarkan koin emas sebagai alat transaksi pada masyarakatnya, mata uang ini
disebut deureuham (dirham) yang dibuat 70%
emas murni dengan berat 0.60 gram, diameter 10 mm, mutu 17 karat.
Sementara masyarakat Pasai umumnya telah menanam padi di ladang, yang dipanen 2 kali setahun, serta memilki sapi
perah untuk menghasilkan keju. Sedangkan rumah penduduknya memiliki tinggi
rata-rata 2.5 meter yang disekat menjadi beberapa bilik, dengan lantai terbuat
dari bilah-bilah kayu kelapa atau kayu pinang yang disusun dengan rotan, dan di
atasnya dihamparkan tikar rotan atau pandan.
Islam merupakan agama yang dianut oleh
masyarakat Pasai, walau pengaruh Hindu dan Buddha juga turut
mewarnai masyarakat ini. Dari catatan Ma Huan dan Tomé Pires, telah membandingkan dan menyebutkan
bahwa sosial budaya masyarakat Pasai mirip dengan Malaka, seperti bahasa, maupun tradisi pada upacara kelahiran, perkawinan dan
kematian. Kemungkinan kesamaan ini memudahkan penerimaan Islam di Malaka dan
hubungan yang akrab ini dipererat oleh adanya pernikahan antara putri Pasai
dengan raja Malaka sebagaimana diceritakan dalam Sulalatus Salatin.
Menjelang masa-masa akhir pemerintahan Kesultanan Pasai, terjadi beberapa
pertikaian di Pasai yang mengakibatkan perang saudara. Sulalatus Salatin menceritakan Sultan Pasai meminta
bantuan kepada Sultan Melaka untuk meredam
pemberontakan tersebut. Namun Kesultanan Pasai sendiri akhirnya runtuh setelah
ditaklukkan oleh Portugal tahun 1521 yang sebelumnya telah menaklukan Malaka tahun 1511, dan kemudian tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh.
2.3 Kepemimpinan
Ratu Nahrisyah
Ratu Nahrisyah merupakan salah satu ratu ternama di
Kerajaan Samudera Pasai. Keagungannya tampak pada makamnya yang dibuat dari
pualam penuh ukiran kaligrafi.
Prof. Dr. T. Ibrahim Alfian, MA dalam tulisannya di
buku “Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah” mengungkapkan bahwa Ratu
Nahrisyah merupakan seorang ratu yang menjadi pusat perhatian para ahli sejarah
untuk menulisnya. Tak terkecuali Dr Cristian Snouck Hourgronje dari Belanda.
Ketika awal awal diangkat menjadi guru besar di Rijks
Universiteit Leiden, dan dikukuhkan pada 23 Januari 1907, Snouck sangat
tertarik untuk meneliti tentang kuburan Ratu Nahrisyah di situs purbakala
Kerajaan Samudera Pasai.
Dalam buku “Arabie en Oost Indie,” 1907, Snouck
menulis tentang Ratu Nahrisyah yang dimakamkan di situs purbakala Kerajaan
Samudera Pasai yang makamnya terbuat dari pualam, yang merupakan makam ratu
Islam yang terindah di Asia Tenggara, yang dihiasi dengan ukiran kaligrafi.
Menurut Snouck makam Ratu Nahrasiyah merupakan duplikat dari makam Umar ibn
Akhmad al-Kazaruni di Cambay, Gujarat, India yang mangkat pada 734 H atau 1333
M. Bentuk nisan seperti itu satu abad lebih setelah wafatnya Ratu Nahrisyah
juga dipakai pada pembangunan makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Jawa
Timur.
Melihat bentuk makamnya yang indah dan istimewa, bisa
dipastikan kalau Ratu Nahrisyah merupakan raja perempuan terbesar pada
zamannya. Pada nisannya terdapat nukilan-nukilan huruf Arab yang berisi informasi
tentang makam tersebut. Ibrahim Alfian menjelaskan, ukiran berbahasa Arab itu
bila diterjemahkan dalam bahasa Melayu bermakna;
“Inilah kubur wanita yang bercahaya yang suci Ratu
yang terhormat almarhumah yang diampunkan dosanya Nahrisyah… putri Sultan Zain
al-Abidin putera Sulthan Ahmad putra Sulthan Muhammad Putra Sulthan Al Malikul
Salih. Kepada mereka itu dicurahkan rahmat dan diampunkan dosanya, meninggal
dunia dengan rahmat Allah pada hari Senin 17 Zulhijah 832.”
J. P. Moquete dalam “De Grafsteenen te Pase en Grisse
verge leken met dergelijke mo menten uit Hindoestan” memperkirakan tanggal dan
tahun hijriah yang tertera di makam itu bertepatan dengan 27 September 1428
masehi.
Menurut Ibrahim Alfian, kebiasaan raja-raja Pasai
selalu mengeluarkan mata uang emas yang disebut deureuham atau dirham, namun
dirham atas nama Ratu Nahrisyah yang memerintah lebih 20 tahun tidak ditemukan
baik dalam berbagai koleksi maupun literatur numismatik mata uang emas kerajaan
kerajaan Islam di Aceh.
Mengenai hal itu Ibrahim Alfian menjelaskan hal itu
karena Ratu Nahrisyah setelah suaminya syahid, dengan suami yang kedua
sama-sama memimpin Kerajaan Samudera Pasai. Suaminya, Salahuddin tidak memakai
gelar Malik az-Zahir pada sisi depan mata uang emasnya karena ia bukan
keturunan dinasti Malik az-Zahir. Hanya pada sisi belakang dirhamnya tercantum
kata “As Sulthan Al Adil” sebagaimana lazimnya dirham emas raja-raja Pasai.
Dirham Salahuddin beratnya 0,60 gram dengan diameter 10 mm dengan mutu emas 17
karat.
Ratu Nahrisyah merupakan anak dari Sulthan Zainal
Abidin yang mangkat pada tahun 1405. Pada masanya dikeluarkan dirham dengan
sisi depan bertulis Arab, “Zainal Abidin Malik az Zahir” dan di bagian belakang
tertulis, “As Sulthan Al Adil”.
Dirham milik Sulthan Zainal Abidin berdiameter 13 mm
dengan berat 0,06 gram dengan mutu emas 18 karat. Dalam literatur Tiongkok
seperti kronik Dinasti Ming (1368-1643), nama Sulthan Zainal Abidin dikenal
dengan sebutan Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki.
2.4 Dicatat
Dalam Ying-yai Sheng-lan
Ibrahim Alfian menjelaskan, berdasarkan kronik Dinasti
Ming buku 32 diungkapkan, Raja tsa-nu-li-a-pi-ting-ki mengirimkan
utusan-utusannya ditemani seorang penerjemah (sida-sida) Cina bernama Yin Ching
ketika menghadap raja Cina Ch’engtsu (1403-1424) dan membawakan upeti. Maharaja
Cina kemudian mengeluarkan dekrit dan mengangkatnya sebagai raja Sumatera. Raja
tsa-nu-li-a-pi-ting-ki mengirim upeti setiap tahun kepada Ch’engtsu selama
maharaja itu masih hidup.
Selain jejak sejaran berupa nisan, keterangan tentang
Ratu Nahrisyah juga terdapat dalam buku sejarah Cina, “Ying-yai Sheng-lan” yang
berisi tentang laporan umum mengenai pantai-pantai Sumatera waktu itu. Ma Huan
seorang pelawat Cina muslim dalam pengantar buku itu menjelaskan, karena dapat
menerjemah buku-buku asing, ia dikirim oleh maharaja Cina ke berbagai negeri
mengiringi Laksamana Cheng Ho.
Di dalam Ying-yai Sheng-lan diceritakan bahwa Raja
Samudera diserang oleh Raja Nakur, dan dalam pertempuran itu, Raja Samudera
tewas terkena panah beracun. Permaisurinya menyatakan sumpah di depan rakyatnya
bahwa siapa yang dapat menuntut balas atas kematian suaminya, ia akan
menikahinya dan bersedia pula untuk memerintah kerajaan Samudera bersama-sama.
Muncullah sosok yang telah berumur, seorang Panglima
Laut, pejabat kerajaan yang ditugaskan untuk mengurus perikanan menyatakan
kesanggupannya untuk mengemban amanah itu. Maka berangkatlah ia memimpin bala
tentara Samudera untuk berperang melawan Raja Nakur. Dalam peperangan itu,
pasukan Raja Nakur berhasil dikalahkan, menyerah dan mengundurkan diri, serta
berjanji tidak akan melakukan permusuhan terhadap Kerajaan Samudera. Ratu,
sebagaimana seharusnya seorang pemimpin, menepati janjinya dan menikah dengan
Panglima Laut.
Pada tahun 1409 M, karena sadar akan kewibawaanya,
suami sang ratu itu mengantar upeti kepada raja Cina Ch’engtsu (1403-1424) yang
terdiri dari berbagai hasil bumi negerinya dan diterima dengan senang hati oleh
raja Cina. Dalam tahun 1412 ia kembali ke Samudera, putra raja terdahulu yang
telah beranjak dewasa secara rahasia bersekutu dengan para bangsawan dan
berhasil membunuh ayah tirinya seta mengambil alih tampuk kerajaan.
Suami kedua ratu itu yang mempunyai kemenakan
Su-Kan-Lah (Sekandar, Iskandar). Ia mengumpulkan pengikut-pengikutnya beserta
keluarga-keluarga mereka, lalu menarik diri ke daerah pegunungan. Di sana ia
mendirikan benteng pertahanan dan kemudian melakukan serangan-serangan ke
Samudera untuk menuntut balas atas kematian pamannya, Sulthan Salahuddin.
Pada tahun 1415 M Cheng Ho dan armadanya mengunjungi
Kerajaan Samudera. Dalam Kronik Dinasti Ming (1368-1643) buku 32 diceritakan,
Sekandar bersama dengan beberapa ribu pengikutnya menyerang dan merampok Cheng
Ho. Serdadu-serdadu Cina dan rakyat Samudera dapat mengalahkan mereka, membunuh
sebagian besar penyerang itu dan mengejar mereka sampai ke Lambri di ujung
pulau Sumatera.
Sekandar kemudian tertangkap dan dibawa sebagai
tawanan ke istana maharaja Cina. Di sana Sekandar dijatuhi hukuman mati.
Menurut Ibrahim Alfian, ratu yang dimaksud dalam cerita Cina itu tak lain
adalah Ratu Nahrisyah, putri Sulthan Zainal Abidin.
2.5 Nisan
dengan Surat Yasin
Pada makan Ratu Nahrasiyah terukir surat Yasin dengan
kaligrafi yang indah bersama ayat kursi yang termaktub dalam surat Al Baqarah.
Selain itu terdapat juga petikan dari kitab suci Alquran antara lain ayat 18
dan 19 surat Ali Imran. H B Jasin dalam buku “Bacaan Mulia” terbitan Jembatan,
Jakarta, 1991 menterjemahkan kedua ayat itu:
Allah menyatakan
Tiada Tuhan selain Ia
Tiada Tuhan selain Ia
Yang berdiri di atas keadilan
Demikian pula malaikat
Dan orang berilmu [menyatakan demikian]
Tiada Tuhan selain Ia
Yang maha perkasa
Yang maha bijaksana
Sunguh,
Agama pada Allah ialah Islam
Dan tiada berselisih orang
Yang diberii Alkitab
Kecuali sesudah beroleh ilmu
Karena kedengkian antara sesama
Dan, barang siapa ingkar ayat-ayat Allah
Sungguh, Allah cepat dalam perhitungan
Ayat 285 dan 286 dalam surat Albaqarah juga turut
dipahat pada makam Ratu Nahrasiyah. Kedua ayat itu ditafsirkan bermakna:
Rasul beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya
dari Tuhannya.
[demikian pula] orang-orang yang beriman
Masing-masin [mereka] beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasulnya.
“Kami tiada membedakan Rasul-rasul-Nya yang satu dari
yang lain,” [kata mereka]
Dan mereka berkata [pula]
“Kami mendengar dan kami taat, berilah kami ampun,
Tuhan kami,
Jangan hukum kami, kepadamulah kami kembali.”
Allah tiada membebani seseorang,
Kecuali menurut kemampuannya.
Ia mendengar [pahala] dari [kebaikan] yang
dilakukannya
Dan mendapat [azab] dari [kejahatan] yang dilakukannya
[Berdoalah] “Tuhan kami jangan hukum kami, jika kami
lupa atau melakukan kekeliruan.
Tuhan kami, janganlah bebani kami dengan beban [yang
berat]
Seperi yang Kau bebankan atas orang sebelum kami.
Ampunilah kami dan rahmatilah kami
Kaulah pelindung kami
Maka tolonglah kami melawan kaum kafir.”
Makam Ratu Nahrasiyah tampak begitu penting bagi
rakyatnya, sehingga dibangun dengan sangat indah. Makan itu dibuat begitu
monumental, penuh kebesaran dan keindahan, sebesar dan seindah masa hidupnya
sebagai seorang ratu. Terhadap kebesaran dan keagungan Ratu Nahrasiyah itu, di
akhir tulisannya Ibrahim Alfian menulis:
“Kita yang sekarang hidup di lingkungan yang jauh
lebih sekuler mungkin tak lagi begitu memahami dan menghayati arti makam. Akan
tetapi, kitapun selalu merasakan dan menyaksikan bahwa selalu ada yang kurang
dalam hidup. Para wisatawan yang berasal dari negara-negara makmur berkelana ke
wilayah-wilayah yang lebih jauh dari tempat asalnya untuk sesuatu yang terasa
kurang itu. Dan makan Ratu Nahrasiyah yang begitu agung dan indah ini mungkin
salah satu yang dicari mereka dan mungkin pula kita semua.”
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Observasi
Penulis melakukan observasi ke Makam Ratu Nahrisyah
untuk mengetahui informasi-informasi yang berkaitan dengan cerita tentang Ratu
Nahrisyah. Selain itu penulis juga melakukan observasi ke salah satu rumah
warga yang berada disekitar Makam Ratu Nahrisyah untuk referensi bagi penulis
agar penulis lebih banyak mendapatkan informasi.
3.2 Wawancara
Wahyu (Penduduk di sekitar Makam Ratu Nahrisyah)
Muhammad Saleh (Penjaga Makam Ratu Nahrisyah)
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1
Hasil Observasi
Setelah melakukan observasi maka hasil yang didapat
bahwa Ratu
Nahrisyah adalah ratu kedua dari Kerajaan Samudra Pase. Pada tahun 1407 M,
Kerajaan Nakur menyerang Pase. Dalam pertempuran, suami Nahrisyah tewas. Sri
ratu bersumpah di hadapan rakyatnya: “ Siapapun yang dapat membunuh Raja Nakur,
saya bersedia untuk menikah dengannya dan memerintah kerajaan ini bersama suami
saya tersebut.”
Seorang pejabat Panglima
Laot kerajaan yang bernama Salahuddin, bersedia mengemban tugas tersebut, dan
ia pun berhasil membunuh raja Nakur, pada tahun 1409 itu, dan Sri Ratu pun
menepati janjinya. Namun, pada tahun 1411 M, Sri ratu mengutus suaminya untuk
mengirim hadiah kepada Kaisar Cina, Cheng Tsu. Sekembalinya dari China, tahun
1412 M, Salahuddin dibunuh oleh anak tirinya, putra dari suami pertama Sri
Ratu, seperti ditulis dalam buku China ‘Ying-yai Sheng-lan’.
Tahun 1415 M, Laksamana
Cheng Ho bersama armadanya mengadakan kunjungan balasan ke Samudra Pase, dengan
membawa hadiah lonceng besar ‘Cakra donya’ dari Sang kaisar. Sri Ratu Nahrisyah
mangkat pada hari Senin, 17 Zulhijjah, 831 H, bertepatan 27 September 1428 M.
Kerajaan Samudra Pase disatukan dengan Aceh Raya Darussalam oleh Sulthan Ali
Mughayatsyah, tahun 1530 M.
4.2 Hasil
Wawancara
Dari hasil wawancara yang dilakukan penulis, hasil
yang didapat yaitu sebagai berikut :
1. Ratu Nahrisyah anak dari Sultan Zain al-Abidin.
2. Makam Ratu Nahrisyah terbuat dari batu pualam
dan merupakan makam Islam yang terindah diseluruh Asia Tenggara.
3. Ratu Nahrisyah tidak ditemukannya mata uang
emas baik dalam berbagai koleksi maupun dalam literatur numismatik seperti pada
raja lainnya yang mengeluarkan mata uang emas.
4. Suami pertama Ratu Nahrisyah mati dibunuh oleh
Raja Nakur karena terkena panah beracun.
5. Suami Ratu Nahrisyah yang kedua yaitu
Salahuddin yang tidak memiliki gelar Malik Zahir karena Ia merupakan seorang
panglima laut kerajaan.
BAB V
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Sultanah Ratu Nahrisyah
memimpin Kerajaan Samudra Pasai pada tahun1416-1428 M, ia dikenal sebagai
seorang yang arif dan bijaksana. Ratu Nahrisyah mangkat pada tanggal 17
Zulhijjah 831 H atau 1428 M. Dimakamnya bisa dilihat ayat-ayat Suci Al-Quran
dengan motif kaligrafi yang indah. Makam ini terletak di Kabupaten Aceh Utara.
5.2 Saran
Makam tampak begitu penting bagi
mereka yang sudah ratusan tahun mendahului kita. Tidak hanya untuk dunia,
mereka ingin yang terbaik, tetapi juga untuk sebuah kenangan tentangnya dan
harapan akan apa yang ada dibalik kematian. Itulah sebabnya, makam Ratu
Nahrisyah dibuat begitu monumental, penuh kebesaran dan keindahan, sebesar dan
seindah masa hidupnya sebagai seorang ratu, seindah dan sebesar harapan akan kehidupannya
di alam sana.
Kita yang sekarang hidup di
lingkungan yang jauh lebih sekuler mungkin tak lagi begitu memahami dan
menghayati arti makam. Akan tetapi, kitapun selalu merasakan dan menyaksikan
bahwa selalu ada yang kurang dalam hidup. Para wisatawan yang berasal dari
negara makmur berkelana ke wilayah-wilayah yang jauh dari tempat asalnya untuk
sesuatu yang kurang itu dan, makam ratu Nahrisyah yang begitu agung dan indah
ini mungkin salah satu yang dicari mereka dan mungkin pula kita semua.
Setelah selesainya karya tulis
ilmiah ini, penulis mengharapkan kepada pembaca untuk terus melestarikan
tempat-tempat bersejarah dan terus mengingat sejarah-sejarah yang terjadi pada
zaman dahulu . Dan seharusnya pemerintah daerah lebih memerhatikan tempat-tempat sejarah
tersebut agar menjadi bukti diwaktu yang akan datang. Bagi para
pembaca seharusnya memperbanyak sumber-sumber bacaan yang telah dibaca untuk
disebar luaskan kepada pulbik yang berguna bagi generasi muda berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Her genealogy above is found in Guillot's latest translation of her tomb inscriptions. How come past translations have a very different genealogy: Naraisiyah Rawangsa/Bharubasa Khadiu bte Sultan Haidar ibnu al sais al Zainodin ibnu Sultan Muhammad ibnu Malikul Salleh? Or are these alternative names of the same persons in your above translation (by Alfian & Guillot)?
BalasHapusAppreciate your clarifications. Thx