Jumat, 01 November 2013

Sedikit Ulasan Tentang Makam Ratu Nahrisyah




ABSTRAK
Kata Kunci :
Karya tulis ilmiah ini berjudul “Sedikit Ulasan Tentang Ratu Nahrisyah”. Metode pengolahan data yang digunakan penulis adalah dengan pendekatan Kualitatif, yaitu penulis membaca buku-buku yang relefan kemudian dibahas secara mendalam. Disamping itu juga penulis memperoleh infomasi dari internet dan wawancara langsung dengan orang sekitar. Sesuai dengan judulnya  Ratu Nahrisyah adalah ratu arif dan bijaksana serta sangat dikenal pada masa jabatannya. Namun tidak banyak orang yang tahu tentang keberadaan ratu ini. Hanya makamnya yang menjadikan bukti sejarah.


KATA PENGANTAR

            Syukur Alhamdulillah, segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis telah dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “Massa Kepemimpinan Ratu Nahrisyah”. Shalawat dan salam penulis sanjungkan ke pangkuan Nabi Besar Muhammad yang telah membawa manusia dari alam kebodohan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
            Karya tulis ini diajukan dalam rangka memenuhi tugas pada mata pelajaran Sejarah. Karya ini disusun berdasarkan buku-buku dan literatur lain yang relevan. Dalam menyusun karya tulis ini, peneliti banyak menghadapi tantangan dan rintangan, namun karena adanya bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, akhirnya karya tulis ini dapat diselesaikan.
Untuk itu peneliti mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada yang terhormat :
1.        Kedua orang tua, yang selalu mendukung penulis dalam melakukan segala hal yang bermanfaat bagi peneliti.
2.        Bapak (Guru Sejarah) selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan kepada penulis. Dan beliau pula yang selalu memberikan dorongan dan motivasi kepada penulis untuk selalu melakukan kegiatan-kegiatan penelitian yang bermanfaat.
3.        Kepada Bapak Kepala Komplek Makam Ratu Nahrisyah yang telah memberikan waktu dan kesempatan kepada penulis untuk mendapatkan bahan-bahan dan informasi yang diperlukan.
Semoga kebaikan yang telah diberikan kepada peneliti menjadi amal ibadah yang akan mendapat imbalannya dari Allah SWT. Karya tulis ini memiliki banyak kekurangan, baik disebabkan karena keterbatasan informasi maupun dari faktor penulis sendiri, oleh karena itu untuk kesempurnaannya peneliti mengharapkan kritikan dan saran dari berbagai pihak.


                                                                                                    Aceh Timur, 02 November 2013
                                                                                                                                     Penulis  


BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Latar Belakang Masalah
Aceh adalah salah satu provinsi yang terletak di ujung paling barat wilayah Indonesia yang berbatasan dengan Selat Malaka di bagian utara dan Samudera Indonesia di sebelah barat, yang merupakan posisi strategis jalur transportasi laut di dunia. Tidak heran jika banyak pedagang dari seluruh penjuru dunia pernah singgah di daerah Aceh. Seperti halnya bangsa Arab, Persia, Gujarat, Eropa dan lainnya. Melalui perdagangan ini pula banyak timbul berbagai macam akulturasi ataupun adat istiadat yang bangsa asing bawa ke Aceh. Sehingga bangsa Indonesia memiliki banyak pemeluk agama diantaranya Hindu, Budha, Kristiani dan Islam. Begitu pula dengan peninggalan sejarahnya yang menjadi saksi bisu bagi kehidupan yang akan datang.
Dalam sejarah perdagangan dunia, Provinsi Aceh pernah terkenal sebagai daerah penghasil rempah-rempah, sehingga mengundang para pedagang Eropa untuk berkunjung ke Aceh. Namun, akibat pertolongan dari negara-negara sahabat yang pernah berkunjung ke Aceh, bangsa Eropa meninggalkan Aceh satu per satu. Selain itu, Provinsi Aceh juga mewarisi berbagai macam situs sejarah dan seni-budaya yang masih dapat dikunjungi sampai sekarang serta kaya akan keunikan dan keanekaragaman objek wisata alam. Salah satu situs sejarah Aceh adalah Kerajaan Samudera Pasai yang berpusat di Aceh Utara yang berbatasan dengan Selat Malaka. Sehingga banyak pedagang Arab yang menyiarkan agama Islam di daerah tersebut dan menjadikan Kerajaan Samudera Pasai sebagai Kerajaan Islam. Pendiri dari Kerajaan Samudra Pasai adalah Marah Silu atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sultan Malik Al-Saleh. Banyak sejarawan yang meneliti tentang massa kepemipinannya. Sehingga tidak asing lagi dengannya. Ratu kedua yang memimpin kerajaan Samudra Pasai yaitu Putroe Nahrisya. Namun tidak banyak yang tahu tentang keberadaan ratu tersebut. Bukti sejarah yang ada hanyalah makamnya yang terletak disebelah makam ayahnya. Bedasarkan latar belakang itulah penulis akan mengangkat judul “Sedikit Ulasan Tentang Ratu Nahrisyah”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah sebagai berikut.
      a.         Bagaimanakan sejarah berdirinya Kerajaan Samudra Pasai?
      b.        Mengapa Putroe Nahrisyah bisa menjadi seorang Ratu?
      c.         Bagaimana Kerajaan Samudra Pasai dibawah kepemimpinan Ratu Nahrisyah?
1.3    Tujuan Penulisan
Sesuai dengan permasalahan diatas, tujuan yang dicapai dalam penulisan ini adalah :
       a.         Menambah pengetahuan tentang sejarah berdirinya Kerajaan Samudra Pasai bagi pembaca.
b.        Menambah pengetahuan tentang seorang ratu yang pernah memimpin Kerajaan Samudra Pasai. 
1.4    Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat diambil dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut:
       a.         Menambah ilmu pegetahuan kepada pembaca tentang salah satu kerajaan Aceh.
       b.        Bagi penulis menambah pengetahuan dalam hal penulisan karya tulis ilmiah.
       c.         Bagi sekolah, dapat meningkatkan mutu pendidikan. Khususnya dalam bidang studi Sejarah.
1.5 Sistematika Penulisan
Karya tulis ilmiah ini terdiri atas empat bab :
Bab I terdiri atas Latar belakang, Rumusan masalah, Tujuan penulisan, Manfaat penulisan, dan Sistematika penulisan.
Bab II terdiri atas Sejarah Lhokseumawe, Awal Berdirinya Kerajaan Samudra Pasai, Kepemimpinan Ratu Nahrisyah, Dicatat Dalam Ying-yai Sheng-lan, dan Nisan dengan Surat Yasin.
Bab III terdiri atas Observasi dan Wawancara.
Bab IV terdiri atas Hasil Observasi dan Hasil Wawancara.
Bab V terdiri atas Kesimpulan dan Saran.

BAB II
LANDASAN TEORITIS
2.1 Sejarah Lhokseumawe
Secara etimologi Lhokseumawe berasal dari kata Lhok dan Seumawe. Dalam Bahasa Aceh, Lhok dapat berarti dalam, teluk, palung laut, dan Seumawe bermaksud air yang berputar-putar atau pusat mata air pada laut sepanjang lepas pantai Banda Sakti dan sekitarnya. Keberadaan kawasan ini tidak lepas dari kemunculan Kerajaan Samudera Pasai sekitar abad ke-13, kemudian kawasan ini menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh sejak tahun 1524.
Sebelum abad ke-20, negeri ini telah diperintah oleh Uleebalang Kutablang. Tahun 1903 setelah perlawanan pejuang Aceh terhadap penjajah Belanda melemah, Aceh mulai dikuasai. Lhokseumawe menjadi daerah taklukan dan mulai saat itu status Lhokseumawe menjadi Bestuur Van Lhokseumawe dengan Zelf Bestuurder adalah Teuku Abdul Lhokseumawe tunduk dibawah Aspiran Controeleur dan di Lhokseumawe berkedudukan juga Wedana serta Asisten Residen atau Bupati.
Pada dasawarsa kedua abad ke-20 itu, di antara seluruh daratan Aceh, salah satu pulau kecil luas sekitar 11 km² yang dipisahkan Sungai Krueng Cunda diisi bangunan-bangunan Pemerintah Umum, Militer, dan Perhubungan Kereta Api oleh Pemerintah Belanda. Pulau kecil dengan desa-desa Kampung Keude Aceh, Kampung Jawa, Kampung Kutablang, Kampung Mon Geudong, Kampung Teumpok Teungoh, Kampung Hagu, Kampung Uteuen Bayi, dan Kampung Ujong Blang yang keseluruhannya baru berpenduduk 5.500 jiwa secara jamak di sebut Lhokseumawe. Bangunan demi bangunan mengisi daratan ini sampai terwujud embrio kota yang memiliki pelabuhan, pasar, stasiun kereta api dan kantor-kantor lembaga pemerintahan.
Sejak Proklamasi Kemerdekaan, Pemerintahan Negara Republik Indonesia belum terbentuk sistemik sampai kecamatan ini. Pada mulanya Lhokseumawe digabung dengan Bestuurder Van Cunda. Penduduk didaratan ini makin ramai berdatangan dari daerah sekitarnya seperti Buloh Blang Ara, Matangkuli, Blang Jruen, Lhoksukon, Nisam, Cunda serta Pidie.
Pada tahun 1956 dengan Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1956, terbentuk daerah-daerah otonom kabupaten-kabupaten dalam lingkup daerah Provinsi Sumatera Utara, di mana salah satu kabupaten diantaranya adalah Aceh Utara dengan ibukotanya Lhokseumawe.
Kemudian Pada Tahun 1964 dengan Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Aceh Nomor 34/G.A/1964 tanggal 30 November 1964, ditetapkan bahwa kemukiman Banda Sakti dalam Kecamatan Muara Dua, dijadikan Kecamatan tersendiri dengan nama Kecamatan Banda Sakti.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, berpeluang meningkatkan status Lhokseumawe menjadi Kota Administratif, pada tanggal 14 Agustus 1986 dengan Peraturan Daerah Nomor 32 Tahun 1986 Pembentukan Kota Administratif Lhokseumawe ditandatangani oleh Presiden Soeharto, yang diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Soeparjo Roestam pada tanggal 31 Agustus 1987. Dengan adanya hal tersebut maka secara de jure dan de facto Lhokseumawe telah menjadi Kota Administratif dengan luas wilayah 253,87 km² yang meliputi 101 desa dan 6 kelurahan yang tersebar di lima kecamatan yaitu: Kecamatan Banda Sakti, Kecamatan Muara Dua, Kecamatan Dewantara, Kecamatan Muara Batu, dan Kecamatan Blang Mangat.
Sejak Tahun 1988 gagasan peningkatan status Kotif Lhokseumawe menjadi Kotamadya mulai diupayakan sehingga kemudian lahir UU Nomor 2 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Lhokseumawe tanggal 21 Juni 2001 yang ditandatangani Presiden RI Abdurrahman Wahid, yang wilayahnya mencakup tiga kecamatan, yaitu: Kecamatan Banda Sakti, Kecamatan Muara Dua, dan Kecamatan Blang Mangat.
2.2 Asal Mula Nama Samudra Pasai
Kerajaan ini didirikan oleh Sultan Malik Al-saleh dan sekaligus sebagai raja pertama pada abad ke-13. Kerajaan Samudera Pasai terletak di sebelah utara Perlak di daerah Lhoksemawe sekarang (pantai timur Aceh). Sebagai sebuah kerajaan, raja silih berganti memerintah di Samudra Pasai. Menurut berita-berita luar yang juga diceritakan dalam Hikayat Raja-raja Pasai kerajaan ini letaknya di kawasan Selat Melaka pada jalur hubungan laut yang ramai antara dunia Arab, India dan Cina. Disebutkan pula bahwa kerajaan ini pada abad ke XIII sudah terkenal sebagai pusat perdagangan di kawasan itu.
Nama Samudera dan Pasai sudah populer disebut-sebut baik oleh sumber-sumber Cina, Arab dan Barat maupun oleh sumber-sumber dalam negeri seperti Negara Kertagama (karya Mpu Prapanca, 1365) pada abad ke XIII dan ke XIV M. Dan tentang asal usul nama kerajaan ini ada berbagai pendapat. Menurut J.L. Moens, kata Pasai berasal dari istilah Parsi yang diucapkan menurut logat setempat sebagai Pa’Se. Dengan catatan bahwa sudah semenjak abad ke VII M, saudagar-saudagar bangsa Arab dan Parsi sudah datang berdagang dan berkediaman di daerah yang kemudian terkenal sebagai Kerajaan Islam Samudera Pasai. Pendapat ini adalah sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Prof. Gabriel Ferrand dalam karyanya (L’Empire, 1922, hal.52-162), dan pendapat Prof. Paul Wheatley dalam (The Golden Khersonese, 1961, hal.216), yang didasarkan pada keterangan para musafir Arab tentang Asia Tenggara. Kedua sarjana ini menyebutkan bahwa sudah sejak abad ke VII M, pelabuhan-pelabuhan yang terkenal di Asia Tenggara pada masa itu, telah ramai dikunjungi oleh para pedagang dan musafir-musafir Arab.
Bahkan pada setiap kota-kota dagang itu telah terdapat fondasi-fondasi atau permukiman-permukiman dari pedagang-pedagang yang beragama Islam. Mohammad Said, salah seorang wartawan dan cendikiawan Indonesia yang berkecimpung dengan penelitiannya tentang kerajaan ini dan kerajaan Aceh, dalam prasarannya yang berjudul “Mentjari Kepastian Tentang Daerah Mula dan Cara Masuknya Agama Islam ke Indonesia, berkesimpulan bahwa istilah PO SE yang populer digunakan pada pertengahan abad ke VIII M seperti terdapat dalam laporan-laporan Cina, adalah identik atau mirip sekali dengan Pase atau Pasai.
2.2 Awal Berdirinya Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar Sultan Malik Al-Saleh, sekitar tahun 1267. Keberadaan kerajaan ini juga tercantum dalam kitab Rihlah ilal-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah ke negeri ini pada tahun 1345.
Berdasarkan Hikayat Raja-raja Pasai, menceritakan tentang pendirian Pasai oleh Marah Silu, setelah sebelumnya ia menggantikan seorang raja yang bernama Sultan Malik al-Nasser. Marah Silu ini sebelumnya berada pada satu kawasan yang disebut dengan Semerlanga kemudian setelah naik tahta bergelar Sultan Malik as-Saleh, ia wafat pada tahun 696 H atau 1297 M. Dalam Hikayat Raja-raja Pasai maupun Sulalatus Salatin nama Pasai dan Samudera telah dipisahkan merujuk pada dua kawasan yang berbeda, namun dalam catatan Tiongkok nama-nama tersebut tidak dibedakan sama sekali. Sementara Marco Polo dalam lawatannya mencatat beberapa daftar kerajaan yang ada di pantai timur Pulau Sumatera waktu itu, dari selatan ke utara terdapat nama Ferlec (Perlak), Basma dan Samara (Samudera).
Pemerintahan Sultan Malik Al-Saleh kemudian dilanjutkan oleh putranya Sultan Muhammad Malik az-Zahir dari perkawinannya dengan putri Raja Perlak. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, koin emas sebagai mata uang telah diperkenalkan di Pasai, seiring dengan berkembangnya Pasai menjadi salah satu kawasan perdagangan sekaligus tempat pengembangan dakwah agama Islam. Kemudian sekitar tahun 1326 ia meninggal dunia dan digantikan oleh anaknya Sultan Mahmud Malik az-Zahir dan memerintah sampai tahun 1345. Pada masa pemerintahannya, ia dikunjungi oleh Ibn Batuthah, kemudian menceritakan bahwa sultan di negeri Samatrah (Samudera) menyambutnya dengan penuh keramahan, dan penduduknya menganut Mazhab Syafi'i.
Selanjutnya pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Malik az-Zahir putra Sultan Mahmud Malik az-Zahir, datang serangan dari Majapahit antara tahun 1345 dan 1350, dan menyebabkan Sultan Pasai terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan.
Kesultanan Pasai kembali bangkit dibawah pimpinan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir tahun 1383, dan memerintah sampai tahun 1405. Dalam kronik Cina ia juga dikenal dengan nama Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki, dan disebutkan ia tewas oleh Raja Nakur. Selanjutnya pemerintahan Kesultanan Pasai dilanjutkan oleh anaknya Sultanah Nahrisyah.
Armada Cheng Ho yang memimpin sekitar 208 kapal mengunjungi Pasai berturut turut dalam tahun 1405, 1408 dan 1412. Berdasarkan laporan perjalanan Cheng Ho yang dicatat oleh para pembantunya seperti Ma Huan dan Fei Xin. Secara geografis Kesultanan Pasai dideskripsikan memiliki batas wilayah dengan pegunungan tinggi disebelah selatan dan timur, serta jika terus ke arah timur berbatasan dengan Kerajaan Aru, sebelah utara dengan laut, sebelah barat berbatasan dengan dua kerajaan, Nakur dan Lide. Sedangkan jika terus ke arah barat berjumpa dengan kerajaan Lambri (Lamuri) yang disebutkan waktu itu berjarak 3 hari 3 malam dari Pasai. Dalam kunjungan tersebut Cheng Ho juga menyampaikan hadiah dari Kaisar Cina, Lonceng Cakra Donya.
 Sekitar tahun 1434 Sultan Pasai mengirim saudaranya yang dikenal dengan Ha-li-zhi-han namun wafat di Beijing. Kaisar Xuande dari Dinasti Ming mengutus Wang Jinhong ke Pasai untuk menyampaikan berita tersebut.
Pusat pemerintahan Kesultanan Pasai terletaknya antara Krueng Jambo Aye (Sungai Jambu Air) dengan Krueng Pase (Sungai Pasai), Aceh Utara. Menurut ibn Batuthah yang menghabiskan waktunya sekitar dua minggu di Pasai, menyebutkan bahwa kerajaan ini tidak memiliki benteng pertahanan dari batu, namun telah memagari kotanya dengan kayu, yang berjarak beberapa kilometer dari pelabuhannya. Pada kawasan inti kerajaan ini terdapat masjid, dan pasar serta dilalui oleh sungai tawar yang bermuara ke laut. Ma Huan menambahkan, walau muaranya besar namun ombaknya menggelora dan mudah mengakibatkan kapal terbalik. Sehingga penamaan Lhokseumawe yang dapat bermaksud teluk yang airnya berputar-putar kemungkinan berkaitan dengan ini.
Dalam struktur pemerintahan terdapat istilah menteri, syahbandar dan kadi. Sementara anak-anak sultan baik lelaki maupun perempuan digelari dengan Tun, begitu juga beberapa petinggi kerajaan. Kesultanan Pasai memiliki beberapa kerajaan bawahan, dan penguasanya juga bergelar sultan.
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, Kerajaan Perlak telah menjadi bagian dari kedaulatan Pasai, kemudian ia juga menempatkan salah seorang anaknya yaitu Sultan Mansur di Samudera. Namun pada masa Sultan Ahmad Malik az-Zahir, kawasan Samudera sudah menjadi satu kesatuan dengan nama Samudera Pasai yang tetap berpusat di Pasai. Pada masa pemerintahan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir, Lide (Kerajaan Pedir) disebutkan menjadi kerajaan bawahan dari Pasai. Sementara itu Pasai juga disebutkan memiliki hubungan yang buruk dengan Nakur, puncaknya kerajaan ini menyerang Pasai dan mengakibatkan Sultan Pasai terbunuh.
Pasai merupakan kota dagang, mengandalkan lada sebagai komoditi andalannya, dalam catatan Ma Huan disebutkan 100 kati lada dijual dengan harga perak 1 tahil. Dalam perdagangan Kesultanan Pasai mengeluarkan koin emas sebagai alat transaksi pada masyarakatnya, mata uang ini disebut deureuham (dirham) yang dibuat 70% emas murni dengan berat 0.60 gram, diameter 10 mm, mutu 17 karat.
Sementara masyarakat Pasai umumnya telah menanam padi di ladang, yang dipanen 2 kali setahun, serta memilki sapi perah untuk menghasilkan keju. Sedangkan rumah penduduknya memiliki tinggi rata-rata 2.5 meter yang disekat menjadi beberapa bilik, dengan lantai terbuat dari bilah-bilah kayu kelapa atau kayu pinang yang disusun dengan rotan, dan di atasnya dihamparkan tikar rotan atau pandan.
Islam merupakan agama yang dianut oleh masyarakat Pasai, walau pengaruh Hindu dan Buddha juga turut mewarnai masyarakat ini. Dari catatan Ma Huan dan Tomé Pires, telah membandingkan dan menyebutkan bahwa sosial budaya masyarakat Pasai mirip dengan Malaka, seperti bahasa, maupun tradisi pada upacara kelahiran, perkawinan dan kematian. Kemungkinan kesamaan ini memudahkan penerimaan Islam di Malaka dan hubungan yang akrab ini dipererat oleh adanya pernikahan antara putri Pasai dengan raja Malaka sebagaimana diceritakan dalam Sulalatus Salatin.
Menjelang masa-masa akhir pemerintahan Kesultanan Pasai, terjadi beberapa pertikaian di Pasai yang mengakibatkan perang saudara. Sulalatus Salatin menceritakan Sultan Pasai meminta bantuan kepada Sultan Melaka untuk meredam pemberontakan tersebut. Namun Kesultanan Pasai sendiri akhirnya runtuh setelah ditaklukkan oleh Portugal tahun 1521 yang sebelumnya telah menaklukan Malaka tahun 1511, dan kemudian tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh.
2.3 Kepemimpinan Ratu Nahrisyah
Ratu Nahrisyah merupakan salah satu ratu ternama di Kerajaan Samudera Pasai. Keagungannya tampak pada makamnya yang dibuat dari pualam penuh ukiran kaligrafi.
Prof. Dr. T. Ibrahim Alfian, MA dalam tulisannya di buku “Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah” mengungkapkan bahwa Ratu Nahrisyah merupakan seorang ratu yang menjadi pusat perhatian para ahli sejarah untuk menulisnya. Tak terkecuali Dr Cristian Snouck Hourgronje dari Belanda.
Ketika awal awal diangkat menjadi guru besar di Rijks Universiteit Leiden, dan dikukuhkan pada 23 Januari 1907, Snouck sangat tertarik untuk meneliti tentang kuburan Ratu Nahrisyah di situs purbakala Kerajaan Samudera Pasai.
Dalam buku “Arabie en Oost Indie,” 1907, Snouck menulis tentang Ratu Nahrisyah yang dimakamkan di situs purbakala Kerajaan Samudera Pasai yang makamnya terbuat dari pualam, yang merupakan makam ratu Islam yang terindah di Asia Tenggara, yang dihiasi dengan ukiran kaligrafi. Menurut Snouck makam Ratu Nahrasiyah merupakan duplikat dari makam Umar ibn Akhmad al-Kazaruni di Cambay, Gujarat, India yang mangkat pada 734 H atau 1333 M. Bentuk nisan seperti itu satu abad lebih setelah wafatnya Ratu Nahrisyah juga dipakai pada pembangunan makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur.
Melihat bentuk makamnya yang indah dan istimewa, bisa dipastikan kalau Ratu Nahrisyah merupakan raja perempuan terbesar pada zamannya. Pada nisannya terdapat nukilan-nukilan huruf Arab yang berisi informasi tentang makam tersebut. Ibrahim Alfian menjelaskan, ukiran berbahasa Arab itu bila diterjemahkan dalam bahasa Melayu bermakna;
“Inilah kubur wanita yang bercahaya yang suci Ratu yang terhormat almarhumah yang diampunkan dosanya Nahrisyah… putri Sultan Zain al-Abidin putera Sulthan Ahmad putra Sulthan Muhammad Putra Sulthan Al Malikul Salih. Kepada mereka itu dicurahkan rahmat dan diampunkan dosanya, meninggal dunia dengan rahmat Allah pada hari Senin 17 Zulhijah 832.”
J. P. Moquete dalam “De Grafsteenen te Pase en Grisse verge leken met dergelijke mo menten uit Hindoestan” memperkirakan tanggal dan tahun hijriah yang tertera di makam itu bertepatan dengan 27 September 1428 masehi.
Menurut Ibrahim Alfian, kebiasaan raja-raja Pasai selalu mengeluarkan mata uang emas yang disebut deureuham atau dirham, namun dirham atas nama Ratu Nahrisyah yang memerintah lebih 20 tahun tidak ditemukan baik dalam berbagai koleksi maupun literatur numismatik mata uang emas kerajaan kerajaan Islam di Aceh.
Mengenai hal itu Ibrahim Alfian menjelaskan hal itu karena Ratu Nahrisyah setelah suaminya syahid, dengan suami yang kedua sama-sama memimpin Kerajaan Samudera Pasai. Suaminya, Salahuddin tidak memakai gelar Malik az-Zahir pada sisi depan mata uang emasnya karena ia bukan keturunan dinasti Malik az-Zahir. Hanya pada sisi belakang dirhamnya tercantum kata “As Sulthan Al Adil” sebagaimana lazimnya dirham emas raja-raja Pasai. Dirham Salahuddin beratnya 0,60 gram dengan diameter 10 mm dengan mutu emas 17 karat.
Ratu Nahrisyah merupakan anak dari Sulthan Zainal Abidin yang mangkat pada tahun 1405. Pada masanya dikeluarkan dirham dengan sisi depan bertulis Arab, “Zainal Abidin Malik az Zahir” dan di bagian belakang tertulis, “As Sulthan Al Adil”.
Dirham milik Sulthan Zainal Abidin berdiameter 13 mm dengan berat 0,06 gram dengan mutu emas 18 karat. Dalam literatur Tiongkok seperti kronik Dinasti Ming (1368-1643), nama Sulthan Zainal Abidin dikenal dengan sebutan Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki.
2.4 Dicatat Dalam Ying-yai Sheng-lan
Ibrahim Alfian menjelaskan, berdasarkan kronik Dinasti Ming buku 32 diungkapkan, Raja tsa-nu-li-a-pi-ting-ki mengirimkan utusan-utusannya ditemani seorang penerjemah (sida-sida) Cina bernama Yin Ching ketika menghadap raja Cina Ch’engtsu (1403-1424) dan membawakan upeti. Maharaja Cina kemudian mengeluarkan dekrit dan mengangkatnya sebagai raja Sumatera. Raja tsa-nu-li-a-pi-ting-ki mengirim upeti setiap tahun kepada Ch’engtsu selama maharaja itu masih hidup.
Selain jejak sejaran berupa nisan, keterangan tentang Ratu Nahrisyah juga terdapat dalam buku sejarah Cina, “Ying-yai Sheng-lan” yang berisi tentang laporan umum mengenai pantai-pantai Sumatera waktu itu. Ma Huan seorang pelawat Cina muslim dalam pengantar buku itu menjelaskan, karena dapat menerjemah buku-buku asing, ia dikirim oleh maharaja Cina ke berbagai negeri mengiringi Laksamana Cheng Ho.
Di dalam Ying-yai Sheng-lan diceritakan bahwa Raja Samudera diserang oleh Raja Nakur, dan dalam pertempuran itu, Raja Samudera tewas terkena panah beracun. Permaisurinya menyatakan sumpah di depan rakyatnya bahwa siapa yang dapat menuntut balas atas kematian suaminya, ia akan menikahinya dan bersedia pula untuk memerintah kerajaan Samudera bersama-sama.
Muncullah sosok yang telah berumur, seorang Panglima Laut, pejabat kerajaan yang ditugaskan untuk mengurus perikanan menyatakan kesanggupannya untuk mengemban amanah itu. Maka berangkatlah ia memimpin bala tentara Samudera untuk berperang melawan Raja Nakur. Dalam peperangan itu, pasukan Raja Nakur berhasil dikalahkan, menyerah dan mengundurkan diri, serta berjanji tidak akan melakukan permusuhan terhadap Kerajaan Samudera. Ratu, sebagaimana seharusnya seorang pemimpin, menepati janjinya dan menikah dengan Panglima Laut.
Pada tahun 1409 M, karena sadar akan kewibawaanya, suami sang ratu itu mengantar upeti kepada raja Cina Ch’engtsu (1403-1424) yang terdiri dari berbagai hasil bumi negerinya dan diterima dengan senang hati oleh raja Cina. Dalam tahun 1412 ia kembali ke Samudera, putra raja terdahulu yang telah beranjak dewasa secara rahasia bersekutu dengan para bangsawan dan berhasil membunuh ayah tirinya seta mengambil alih tampuk kerajaan.
Suami kedua ratu itu yang mempunyai kemenakan Su-Kan-Lah (Sekandar, Iskandar). Ia mengumpulkan pengikut-pengikutnya beserta keluarga-keluarga mereka, lalu menarik diri ke daerah pegunungan. Di sana ia mendirikan benteng pertahanan dan kemudian melakukan serangan-serangan ke Samudera untuk menuntut balas atas kematian pamannya, Sulthan Salahuddin.
Pada tahun 1415 M Cheng Ho dan armadanya mengunjungi Kerajaan Samudera. Dalam Kronik Dinasti Ming (1368-1643) buku 32 diceritakan, Sekandar bersama dengan beberapa ribu pengikutnya menyerang dan merampok Cheng Ho. Serdadu-serdadu Cina dan rakyat Samudera dapat mengalahkan mereka, membunuh sebagian besar penyerang itu dan mengejar mereka sampai ke Lambri di ujung pulau Sumatera.
Sekandar kemudian tertangkap dan dibawa sebagai tawanan ke istana maharaja Cina. Di sana Sekandar dijatuhi hukuman mati. Menurut Ibrahim Alfian, ratu yang dimaksud dalam cerita Cina itu tak lain adalah Ratu Nahrisyah, putri Sulthan Zainal Abidin.
2.5 Nisan dengan Surat Yasin
Pada makan Ratu Nahrasiyah terukir surat Yasin dengan kaligrafi yang indah bersama ayat kursi yang termaktub dalam surat Al Baqarah. Selain itu terdapat juga petikan dari kitab suci Alquran antara lain ayat 18 dan 19 surat Ali Imran. H B Jasin dalam buku “Bacaan Mulia” terbitan Jembatan, Jakarta, 1991 menterjemahkan kedua ayat itu:
Allah menyatakan
Tiada Tuhan selain Ia
Yang berdiri di atas keadilan
Demikian pula malaikat
Dan orang berilmu [menyatakan demikian]
Tiada Tuhan selain Ia
Yang maha perkasa
Yang maha bijaksana
Sunguh,
Agama pada Allah ialah Islam
Dan tiada berselisih orang
Yang diberii Alkitab
Kecuali sesudah beroleh ilmu
Karena kedengkian antara sesama
Dan, barang siapa ingkar ayat-ayat Allah
Sungguh, Allah cepat dalam perhitungan
Ayat 285 dan 286 dalam surat Albaqarah juga turut dipahat pada makam Ratu Nahrasiyah. Kedua ayat itu ditafsirkan bermakna:
Rasul beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya.
[demikian pula] orang-orang yang beriman
Masing-masin [mereka] beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasulnya.
“Kami tiada membedakan Rasul-rasul-Nya yang satu dari yang lain,” [kata mereka]
Dan mereka berkata [pula]
“Kami mendengar dan kami taat, berilah kami ampun, Tuhan kami,
Jangan hukum kami, kepadamulah kami kembali.”
Allah tiada membebani seseorang,
Kecuali menurut kemampuannya.
Ia mendengar [pahala] dari [kebaikan] yang dilakukannya
Dan mendapat [azab] dari [kejahatan] yang dilakukannya
[Berdoalah] “Tuhan kami jangan hukum kami, jika kami lupa atau melakukan kekeliruan.
Tuhan kami, janganlah bebani kami dengan beban [yang berat]
Seperi yang Kau bebankan atas orang sebelum kami.
Ampunilah kami dan rahmatilah kami
Kaulah pelindung kami
Maka tolonglah kami melawan kaum kafir.”
Makam Ratu Nahrasiyah tampak begitu penting bagi rakyatnya, sehingga dibangun dengan sangat indah. Makan itu dibuat begitu monumental, penuh kebesaran dan keindahan, sebesar dan seindah masa hidupnya sebagai seorang ratu. Terhadap kebesaran dan keagungan Ratu Nahrasiyah itu, di akhir tulisannya Ibrahim Alfian menulis:
“Kita yang sekarang hidup di lingkungan yang jauh lebih sekuler mungkin tak lagi begitu memahami dan menghayati arti makam. Akan tetapi, kitapun selalu merasakan dan menyaksikan bahwa selalu ada yang kurang dalam hidup. Para wisatawan yang berasal dari negara-negara makmur berkelana ke wilayah-wilayah yang lebih jauh dari tempat asalnya untuk sesuatu yang terasa kurang itu. Dan makan Ratu Nahrasiyah yang begitu agung dan indah ini mungkin salah satu yang dicari mereka dan mungkin pula kita semua.”

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Observasi
Penulis melakukan observasi ke Makam Ratu Nahrisyah untuk mengetahui informasi-informasi yang berkaitan dengan cerita tentang Ratu Nahrisyah. Selain itu penulis juga melakukan observasi ke salah satu rumah warga yang berada disekitar Makam Ratu Nahrisyah untuk referensi bagi penulis agar penulis lebih banyak mendapatkan informasi.
3.2 Wawancara
Wahyu (Penduduk di sekitar Makam Ratu Nahrisyah)
Muhammad Saleh (Penjaga Makam Ratu Nahrisyah)


BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Hasil Observasi
Setelah melakukan observasi maka hasil yang didapat bahwa Ratu Nahrisyah adalah ratu kedua dari Kerajaan Samudra Pase. Pada tahun 1407 M, Kerajaan Nakur menyerang Pase. Dalam pertempuran, suami Nahrisyah tewas. Sri ratu bersumpah di hadapan rakyatnya: “ Siapapun yang dapat membunuh Raja Nakur, saya bersedia untuk menikah dengannya dan memerintah kerajaan ini bersama suami saya tersebut.”
Seorang pejabat Panglima Laot kerajaan yang bernama Salahuddin, bersedia mengemban tugas tersebut, dan ia pun berhasil membunuh raja Nakur, pada tahun 1409 itu, dan Sri Ratu pun menepati janjinya. Namun, pada tahun 1411 M, Sri ratu mengutus suaminya untuk mengirim hadiah kepada Kaisar Cina, Cheng Tsu. Sekembalinya dari China, tahun 1412 M, Salahuddin dibunuh oleh anak tirinya, putra dari suami pertama Sri Ratu, seperti ditulis dalam buku China ‘Ying-yai Sheng-lan’.
Tahun 1415 M, Laksamana Cheng Ho bersama armadanya mengadakan kunjungan balasan ke Samudra Pase, dengan membawa hadiah lonceng besar ‘Cakra donya’ dari Sang kaisar. Sri Ratu Nahrisyah mangkat pada hari Senin, 17 Zulhijjah, 831 H, bertepatan 27 September 1428 M. Kerajaan Samudra Pase disatukan dengan Aceh Raya Darussalam oleh Sulthan Ali Mughayatsyah, tahun 1530 M.
4.2 Hasil Wawancara
Dari hasil wawancara yang dilakukan penulis, hasil yang didapat yaitu sebagai berikut :
1.  Ratu Nahrisyah anak dari Sultan Zain al-Abidin.
2.  Makam Ratu Nahrisyah terbuat dari batu pualam dan merupakan makam Islam yang terindah diseluruh Asia Tenggara.
3.  Ratu Nahrisyah tidak ditemukannya mata uang emas baik dalam berbagai koleksi maupun dalam literatur numismatik seperti pada raja lainnya yang mengeluarkan mata uang emas.
4.  Suami pertama Ratu Nahrisyah mati dibunuh oleh Raja Nakur karena terkena panah beracun.
5.  Suami Ratu Nahrisyah yang kedua yaitu Salahuddin yang tidak memiliki gelar Malik Zahir karena Ia merupakan seorang panglima laut kerajaan.


BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Sultanah Ratu Nahrisyah memimpin Kerajaan Samudra Pasai pada tahun1416-1428 M, ia dikenal sebagai seorang yang arif dan bijaksana. Ratu Nahrisyah mangkat pada tanggal 17 Zulhijjah 831 H atau 1428 M. Dimakamnya bisa dilihat ayat-ayat Suci Al-Quran dengan motif kaligrafi yang indah. Makam ini terletak di Kabupaten Aceh Utara.
5.2 Saran
Makam tampak begitu penting bagi mereka yang sudah ratusan tahun mendahului kita. Tidak hanya untuk dunia, mereka ingin yang terbaik, tetapi juga untuk sebuah kenangan tentangnya dan harapan akan apa yang ada dibalik kematian. Itulah sebabnya, makam Ratu Nahrisyah dibuat begitu monumental, penuh kebesaran dan keindahan, sebesar dan seindah masa hidupnya sebagai seorang ratu, seindah dan sebesar harapan akan kehidupannya di alam sana.
Kita yang sekarang hidup di lingkungan yang jauh lebih sekuler mungkin tak lagi begitu memahami dan menghayati arti makam. Akan tetapi, kitapun selalu merasakan dan menyaksikan bahwa selalu ada yang kurang dalam hidup. Para wisatawan yang berasal dari negara makmur berkelana ke wilayah-wilayah yang jauh dari tempat asalnya untuk sesuatu yang kurang itu dan, makam ratu Nahrisyah yang begitu agung dan indah ini mungkin salah satu yang dicari mereka dan mungkin pula kita semua.
Setelah selesainya karya tulis ilmiah ini, penulis mengharapkan kepada pembaca untuk terus melestarikan tempat-tempat bersejarah dan terus mengingat sejarah-sejarah yang terjadi pada zaman dahulu . Dan seharusnya pemerintah daerah lebih memerhatikan tempat-tempat sejarah tersebut agar menjadi bukti diwaktu yang akan datang. Bagi para pembaca seharusnya memperbanyak sumber-sumber bacaan yang telah dibaca untuk disebar luaskan kepada pulbik yang berguna bagi generasi muda berikutnya.

 
DAFTAR PUSTAKA

 



1 komentar:

  1. Her genealogy above is found in Guillot's latest translation of her tomb inscriptions. How come past translations have a very different genealogy: Naraisiyah Rawangsa/Bharubasa Khadiu bte Sultan Haidar ibnu al sais al Zainodin ibnu Sultan Muhammad ibnu Malikul Salleh? Or are these alternative names of the same persons in your above translation (by Alfian & Guillot)?
    Appreciate your clarifications. Thx

    BalasHapus